USHUL FIQH Pengertian dan kualifikasi (syarat-syarat mujtahid), Tugas-tugas Mujtahid, Kode Etik Mujtahid

LINK DOWNLOAD USHUL FIQH DOCX
BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Latar belakang yang membuat kami ingin menulis makalah ini adalah selain sebagai tugas yang telah diberikan kepada kami, kami juga berharap banyak agar nantinya kami dapat menyerap akan Ilmu yang ada di dalamnya. Mengingat pentingnya hasil Ijtihad sebagai peran dalam tuntunan kehidupan sehari hari oleh kaum khususnya muslimin. Menurut istilah, ijtihad adalah upaya maksimal dari seorang fikih (mujtahid) dalam memperoleh ketentuan hukum yang bersifat dhanny Menurut Al-Ghazali, melaksanakan ijtihad merupakan perbuatan yang bersifat dhanny yang sangat berat dan sulit, hasil dari ijtihad tersebut harus diyakini baik oleh mujtahid itu sendiri maupun oleh pengikutnya. Di samping pengertian ijtihad tersebut, para pakar hukum Islam memberikan batasan pengertian ijtihad dalam arti sempit dan luas. Menurut pengertian yang sempit, ijtihad sama artinya dengan pengertian qiyas, dengan kata lain ijtihad itu hanya menjalankan qiyas atau membandingkan suatu hukum dengan hukum yang lain. Adapun dalam arti yang luas, ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara' dari Kittabullah dan Hadis atau usaha maksimal dalam melahirkan hukum-hukum syariat dari dasar-dasamya melalui pemikiran dan penelitian yang serius.
  1. Rumusan Masalah
1.      Pengertian dan kualifikasi (syarat-syarat mujtahid)
2.      Tugas-tugas Mujtahid
3.      Kode Etik Mujtahid




BAB II
PEMBAHASAN
  1. Arti Ijtihad
Kata “ijtihad” dalam Lisan ul Arab terambil dari kata al-jahd dan al-juhd, secara etimologi berarti al-thaqah, yaitu tenaga, kuasa, dan daya. Menurut arti harfiah, ijtihad berarti mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha dengan sungguh-sungguh, bekerja dengan semaksimal mungkin untuk mendapat sesuatu yang diharapkan. Menurut istilah, ijtihad adalah upaya maksimal dari seorang fikih (mujtahid) dalam memperoleh ketentuan hukum yang bersifat dhanny Menurut Al-Ghazali, melaksanakan ijtihad merupakan perbuatan yang bersifat dhanny yang sangat berat dan sulit, hasil dari ijtihad tersebut harus diyakini baik oleh mujtahid itu sendiri maupun oleh pengikutnya.
Di samping pengertian ijtihad tersebut, para pakar hukum Islam memberikan batasan pengertian ijtihad dalam arti sempit dan luas. Menurut pengertian yang sempit, ijtihad sama artinya dengan pengertian qiyas, dengan kata lain ijtihad itu hanya menjalankan qiyas atau membandingkan suatu hukum dengan hukum yang lain. Adapun dalam arti yang luas, ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara' dari Kittabullah dan Hadis atau usaha maksimal dalam melahirkan hukum-hukum syariat dari dasar-dasamya melalui pemikiran dan penelitian yang serius. Adapun menurut Ushuliyun, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh mujtahid (fuqaha) untuk mendapatkan dhan (dugaan kuat) tentang hukum syara'.[1]
Pemikiran ijtihad dalam pembaruan hukum Islam meliputi dua hal. Pertama, ketegasan agama dalam menyebutkan suatu persoalan adalah memang sengaja sebagai rahmat kepada umatnya. Dengan demikian, para mujtahid dapat leluasa memberikan interpretasinya dan merealisasikannya sesuai dengan kehendak agama melalui proses ijtihad, analogi, mashlahat mursalah, istihsan, istishlah, dan sebagainya. Seperti diketahui bahwa ada sebagian bidang hukum telah diperinci oleh Al-Qur'an dan al-Hadis, tetapi ada juga teks-teks hukum tidak disebutkan secara tegas dan terperinci, tetapi hanya bersifat global. Realisasinya dilakukan oleh pemikiran dan penelitian para ahli dengan melandasi diri dengan dasar-dasar umum syariat Islam, sehingga hukum-hukum yang dihasilkan sejalan dengan situasi, kondisi, dan kepentingan masyarakatnya. Kedua, menjelaskan teks-teks yang dhanny, baik dalam hal orientasinya (Hadis-hadis Nabi pada umumnya bersifat demikian) maupun dhamzy dalam pengertian yang dapat dipahami.[2]
Hal hal yang boleh dijadikan obyek ijtihad :
Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat nash yang jelas dan pasti. Ijtihad menurut istilah ulama ushul adalah mengerahkan segala daya untuk menghasilkan hukum syara' dari dalilnya yang rinci di antara dalil syara'. Jika kejadian yang hendak diketahui hukum syaraknya itu telah ditunjukkan oleh dalil yang sharih (jelas) dan petunjuk serta maknanya adalah pasti, maka tidak ada peluang untuk ijtihad. Yang wajib adalah melaksanakan pemahaman yang ditunjukkan nash. Karena selama dalil itu pasti datangnya, maka ketetapan dan keluarnya dari Allah dan Rasul-Nya bukan menjadi obyek pembahasan dan sasaran pengerahan daya. Selama dalil itu pasti maknanya, maka petunjuk atas makna dan pengambilan hukum darinya bukan sasaran pembahasan dan ijtihad.
Atas dasar ini, maka semua ayat-ayat hukum yang ditafsiri dan telah menun-jukkan arti dengan jelas serta tidak mungkin ditakwil maka wajib menerapkannya dan tidak ada peluang ijtihad dalam kejadian yang diterapkan itu.[3]
Dalam firman Allah SWT :
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (QS. an Nuuur: 43)
Tidak ada peluang Ijtihad dalam hal jumlah hitungan dera. Begitu juga dalam setiap hukuman atau denda yang ditentukan.
Maka dalam firman Allah SWT :
Dan dirikanlah sholat ,  tunaikan zakat (QS. al Baqarah: 43)
Setelah sunnah perbuatan Nabi menjelaskan maksud dari shalat atau zakat, maka tidak ada peluang berijtihad dalam menjelaskan pengertian keduanya. Selama nash itu sharih dan ditafsir dengan bentuknya atau diikuti dengan penjelasan dan keterangan syari' maka tidak ada peluang berijtihad pada masalah tersebut, Contoh ayat-ayat al Quran yang ditafsiri dengan hadis mutawatir yaitu seperti hadis tentang harta yang wajlb dikeluarkan zakatnya, ukuran nishab masing-masing harta itu serta ukuran yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Apabila kejadian yang hendak diketahui hukumnya terdapat nash yang makna dan datangnya dugaan atau dugaan salah satunya saja, maka keduanya mempunyai peluang ijtihad. Karena mujtahid itu meneliti dalil yang dugaan datangnya dari segi sanad (jalan)nya, cara sampainya kepada kita dari Rasulullah dan tingkat keadilan, kekuatan ingatan kepercayaan serta kejuj uran para rawinya. Dalam hal ini kemampuan para mujtahid berbeda dalam dalilnya. Ada yang percaya pada riwayatnya dan mengambilnya sebagai dalil dan ada yang tidak percaya dan tidak mengambilnya sebagai dalil. Ini adalah salah satu di antara pembahasan yang menjadi sebab perbedan pendapat di kalangan para mujtahid tentang hukum sebangsa perbuatan.
Apabila ijtihad mujtahid mengenai sanad itu telah membuat dia percaya tentang periwayatan dan kejujuran rawinya, maka dia boleh berijtihad untuk mengetahui hukum yang ditunjukkan oleh dalil dan peristiwa yang diterapkan kepada hukum itu. Karena dalil itu terkadang lahirnya menunjukkan suatu arti tetapi yang dimaksud bukan arti itu, kadang berbentuk umum, berbentuk mutlak dan kadang menggunakan bentuk perintah atau larangan. Jadi, seorang mujtahid dengan ijtlhadnya dapat mengetahui bahwa: Yang zhahir diartikan zhahir atau ditakwil, yang umum diartikan umum atau ditakhshish. Begitu juga yang mutlak diartikan tetap mutlak atau terbatas, perintah itu menunjukkan arti wajib atau yang lain, dan larangan itu menunjukkan arti haram atau yang lain. Halhal yang dijadikan pedoman dalam ijtihadnya antara lain kaidah dasar dari segi bahasa, tujuan perundangan hukum syara', dasar atau kaidah umum dan nash lain yang menjelaskan hukum. Dari sini ia dapat menyimpulkan apakah nash itu dapat diterapkan untuk kejadian ini atau tidak.[4]
Demikian juga bila kejadian itu tidak memiliki nash hukum sama sekali, maka ada peluang yang luas untuk ijtihad. Karena mujtahid dapat melakukan penelitian untuk mengetahui hukumnya dengan cara kias, istihsan, istish-haab, menjaga tradisi atau kemaslahatan umum. Kesimpulannya, peluang ijtihad ada dua: Peristiwa yang tidak ada nashnya sama sekali dan peristiwa yang memiliki nash tetapi tidak pasti. Dan tidak ada peluang ijtihad pada masalah yang memiliki nash yang pasti.
Atas dasar kaidah umum pembentukan undang-undang ini, dalam kitab Ushuulul qawaniin dikatakan: Pada dasarnya, selama undang-undang itu jelas, maka tidak boleh mentakwil dan mengubah nash-nashnya. Ini didasarkan bahwa jiwa undang-undan g itu mendorong terjadinya perubahan, meskipun seorang hakim secara pribadi berpendapat bahwa nash ini tidak adil, karena penjelasannya dikembalikan kepada yang menetapkan hukum sendiri. Sedangkan tugas seorang hakim terbatas pada hukum yang berdasarkan undang-undang, bukan hukum mengalahkan undangundang.
Dalam pasal 129 Peraturan Mahkamah Sipil dikatakan: "Jika dalam undang-undang itu tidak terdapat nash yang sharih, maka hukum diputuskan berdasarkan keadilan." Selama dalam undangundang itu terdapat nash yang sharih maka ialah yang diputuskan sebagai hukum.[5]
  1. Tugas Mujtahid


Maknanya : “Seringkali terjadi orang menyampaikan hadist kepada orang yang lebih memahaminya darinya” (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Hadits ini menjelaskan bahwa manusia terbagi ke dalam dua tingkatan, Pertama: orang yang tidak mampu beristinbath (menggali hukum dari teks-teks al Qur'an dan hadits) dan berijtihad. Kedua: mereka yang mampu berijtihad. Karenanya kita melihat ummat Islam, ada di antara mereka yang mujtahid (ahli ijtihad) seperti Imam asy-Syafi'i dan yang lain mengikuti (taqlid) salah seorang imam mujtahid. Jadi tidak setiap orang yang telah menulis sebuah kitab, kecil maupun besar dapat mengambil tugas para Imam mujtahid dari kalangan ulama' as-Salaf ashShalih tersebut, sehingga berfatwa, menghalalkan ini dan mengharamkan itu tanpa merujuk kepada perkataan para Imam mujtahid dari kalangan salaf dan khalaf yang telah dipercaya oleh umat karena jasa-jasa baik mereka. Dengan demikian fatwa yang menyatakan adanya zakat penghasilan sama sekali tidak berdasar dan menyalahi fatwa para ulama, karenanya tidak boleh diikuti sebab fatwa ini bukan fatwa seorang mujtahid. Kita hanya akan mengikuti para ulama yang mu'tabar. Bahkan jika penganjur fatwa ini berdalih mereka hanya melakukan qiyas, kita katakan bahwa melakukan qiyas sekalipun, hal itu adalah tugas khusus seorang mujtahid, yaitu mengambil hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash karena ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya.
 Para ulama ushul seperti imam asy-Syafi'i berkata: ”Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid". Pendapat seperti ini biasanya muncul dari orang yang tidak mempelajari ilmu agama dengan baik dan bukan dengan cara bertalaqqi kepada para ulama yang terpercaya. Karenanya disarankan kepada mereka untuk terlebih dahulu belajar ilmu agama dengan baik kepada para ulama sehingga tidak terjatuh pada perbuatan mewajibkan sesuatu, mengharamkan atau menghalalkannya secara gegabah. Hal ni dikarenakan, para ulama salaf maupun khalaf sepakat bahwa ilmu agama tidak bisa diperoleh hanya dengan membaca (muthala'ah) kitab-kitab. Tetapi harus dengan belajar secara langsung (talaqqi) kepada seorang guru atau ulama yang terpercaya (tsiqah/kredibel) yang mata rantai keilmuannya bersambung sampai kepada sahabat dan Rasulullah shallallahu alayhi wasallam.[6]
C.    Syarat-syarat Seseorang Cakap Berijtihad
Untuk membuktikan seseorang itu cakap berijtihad dibutuhkan empat syarat:
a.       Hendaknya ia (calon mujtahid) mempunyai pengetahuan bahasa Arab, dari segi sintaksis dan morfologinya, memiliki rasa bahasa dalam memahami gaya bahasa yang diperoleh dari usaha memahami ilmu bahasa Arab dan cabang-cabangnya, memiliki pandangan luas mengenai sastra dan yang mempengaruhi kefasihannya dalam bentuk syair, prosa dan lainnya. Karena langkah pertama bagi seorang mujtahid adalah memahami nash al Quran dan hadis sebagaimana bangsa Arab memahaminya, yang mana nash itu diturunkan dengan bahasa mereka. Kemudian menerapkan kaidah umum dari segi bahasa itu untuk mengambil maksud dari ungkapan dan kosa kata.[7]
b.      Hendaknya ia mempunyai pengetahuan tentang al Quran. Artinya, harus benar-benar mengetahui hukum syara' yang dibawa oleh al Quran dan oleh ayat yang menetapkan hukum-hukum itu. Dan mengetaui cara berkembangnya hukum dari ayat-ayat itu, seperti jika terdapat suatu kejadian, maka mudah baginya mudah baginya menghadirkan semua hukum pada tema kejadian itu dari ayat-ayat hukum dalam al Quran. Mengetahui sebab yang sahih mengenai turunnya ayat dan mengetahui penafsiran dan penakwilan ayat dari hadis-hadis. Dari pengetahuan-pengetahuan ini dapat ditemukan hukum atas suatu peristiwa.
Ayat-ayat hukum dalam al Quran tidak banyak, sebagian ahli tafsir telah menyendirikannya dengan tafsir yang khusus. Adalah suatu kemungkinan untuk mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan tema tertentu dengan yang lainnya, a gar mudah bagi seseorang untuk mengembalikan satu kelompok bahasan kepada ayat-ayat hukum al-Quran yang mencakup Talak dan semua ayat yang mencakup hukum perkawinan, waris, hukuman, muamalah dan hukum lain yang termasuk hukum dalam al Quran. Sangat memudahkan juga bila setiap ayat disertai dengan sebab sahih tentang turunnya ayat, hadis yang menjelaskan keglobalan ayat-ayat itu dan hadis yang menerangkan penafsirannya. Dengan ini maka kumpulan undang-undang dalam al Quran akan mudah merujuknya ketika dibutuhkan, mudah menyertakan materi satu tema dengan lainnya. Dan suatu kesalahan jika satu ayat dipahami bahwa ayat itu berdiri sendiri.
c.        Ia juga harus memiliki pengetahuan tentang hadis. Artinya harus benar-benar mengetahui hukum syara' yang dibawa oleh hadis, misalnya mampu menghadirkan hukum dari dalil hadis dalam semua persoalan tentang perbuatan mukallaf dan mengetahui tingkatan sanad hadis, seperti riwayat yang sahih atau lemah. Para ulama telah berperan cukup besar dalam masalah hadis Nabi ini. Mereka telah mencurahkan perhatiannya untuk sanad dan rowi setiap hadis, sehingga orang-orang setelah mereka cukup melengkapi penelitian terhadap sanad-sanadnya saja, sehingga setiap hadis itu dikenal dengan sebutan, hadis mutawatir, masyhur, sahin, hasan atau dha'if(lemah).
Para ulama juga telah berusaha mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusunnya menurut bab-bab ilmu fikih dan perbuatan mukallf. Sehingga mudah bagi Seseorang untuk merujuk hukum-hukum yang dibawa oleh hadis shahih, seperti hukum jual beli, talak, perkawinan, hukuman, atau yang lain. Ia juga dapat merujuk kepada ayat atau hadis yang menjelaskan tema-tema hukum. Dari penjelasan ayat dan hadis-hadis tersebut hukum syara' dapat dipahami. Di antara kitab yang digunakan sebagai referensi dalam hal mi adalah kitab "Nailil Authar " karangan Imam as Syaukani.[8]
d.       Hendaknya ia mengerti kisi-kisi kias. Artinya, ia mengetahui illat (alasan) dan hikmah hukum syara' yang digunakan sebagai dasar penetapan hukum. Hendaknya mengetahui semua cara yang ditempuh syari' untuk mengetahui alasan dan hikmah hukum, memahami ihwal perbuatan dan muamalah manusia, sehingga ia mengetahui realisasi illat hukum dari kejadian yang tidak memiliki nash. Hendaknya ia juga mengetahui kemaslahatan dan tradisi manusia, mengetahui apa yang dapat memotivasi mereka berbuat baik atau jahat. Sehingga ketika ia tidak dapat menemukan cara untuk mengetahui hukum atas kejadian itu dengan kias, maka ia menempuh cara lain di antara cara-cara yang digunakan oleh syariat Islam untuk dapat mengeluarkan hukum terhadap kejadian yang tidak memiliki nash.[9]
Syarat-syarat ijtihad yang ditetapkan oleh ahli hukum Islam di kalangan para Ushuliyun, Yakni :
Seorang mujtahid harus memiliki beberapa kriteria kemampuan yang telah ditetapkan antara lain : pertama, harus mengetahui dan memahami makna ayat-ayat hukum yang tersebut dalam Al-Qur'an dan al-hadis. Ia tidak harus hafal ayat dan Hadis tersebut, tetapi minimal mengetahui dan dapat mencarinya secara cepat bila diperlukan. Kedua, mengetahui bahasa Arab, karena dengan mengetahui bahasa Arab ia dapat dengan mudah menafsirkan segala sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur'an dan al-Hadis. Ketiga, mengetahui metodologi qiyas dengan baik. Keempat, mengetahui nasilzh dan mansuhh, sehingga ia tidak ber pegang pada dalil yang secara hukum sudah tidak dipakai lagi. Kelima, harus mengetahui kaidah-kaidah ushul dengan baik dan juga harus mengetahui dasar-dasar pemikiran yang mendasari rumusan-rumusan kaidah tersebut, sehingga jika perlu ia menciptakan kaidah sendiri. Keenam, mengetahui maqashid al-ahham.[10]
Syarat-syarat ijtihad sebagaimana tersebut di atas merupakan syarat ijtihad yang ditetapkan oleh ahli hukum Islam di kalangan para Ushuliyun, bukan secara eksplisit ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Syarat-syarat untuk menentukan atau menentukan seseorang sebagai mujtahid masih diperselisihkan, sebagaimana para pakar hukum di luar Ushulliyun ada yang mensyaratkan bahwa seseorang mujtahid, di samping harus memenuhi syarat yang telah ditentukan juga harus mengetahui ilmu bantu lainnya. seperti ilmu mantik, astronomi, kalam, fikih dan cabang cabangnya, sosiologi, sejarah, filsafat, dan ilmu-ilmu lain yang ada kaitannya dengan istinbat hukum yang dilakukannya. Di samping syarat-syarat ini, ia harus memiliki integritas teologis yang merefleksikan sikap keberagamaan yang jujur dan dapat dipercaya. Terakhir, seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang zamannya, masyarakatnya, permasalahannya umat, aliran ideologi, politik, agama, dan mengetahui hubungan masyarakat dengan masyarakat lain serta sejauh mana interaksi saling memengaruhi antar masyarakat tersebut.[11]
  1. Etika dan Kode Etik Mujtahid
Sejumlah kualifikasi di atas sekaligus merupakan kode etik yang harus selalu dipedomani oleh seorang mujtahid. Hal ini sejalan dengan pengertian kode etik itu sendiri. yaitu norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi yang mengarahkan dan memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dan kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik.
Kode etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasarkan penerapan pemikiran etis atas suatu profesi. Kode etik profesi adalah rumusan norma moral manusia yang mengemban profesi dan menjadi tolak ukur perbuatan anggota kelompok profesi. Kode etik profesi merupakan upaya pencegahan berbuat yang tidak etis bagi anggota. Dalam konteks ini, sejumlah kualifikasi mujtahid di atas dibuat agar produk hukum yang dihasilkan oleh seorang mujtahid benar-benar bisa dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun secara moral agama. Meski mujtahid bukanlah profesi yang berorientasi materi, namun kualifikasi serta kode etik yang ditetapkan oleh usuliyyun hampir tidak dibantah oleh para mujtahid.
Selain itu dalam kesempatan dan diskusi yang telah dilakukan ada beberapa etika dan kode etik mujtahid yang dapat dipaparkan, yaitu:
  1. Sebuah Ijtihad tidak dapat menggugurkan hasil ijtihad yang sudah dilakukan.
  2. Seorang mujtahid harus memiliki kepribadian yang baik.
  3. Memiliki integritas (keutuhan pribadi) moral yang luhur. dalam bentuk kejujuran dan kepribadian yang baik.
  4. Seorang mujtahid harus mengetahui kondisi masyarakat dan masa pada saat itu juga.
  5. Seorang mujtahid harus pula mempertimbangkan kemaslahatan bagi umat.
  6. Hasil ijtihad harus sesuai dengan kebutuhan pada saat itu.
  7. Memiliki sifat wara' dan 'ifah.
  8. Dapat menghormati hasil ijtihad ulama yang lain.
Demikian etika-etika atau akhlak yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid dalam memberikan istinbat hukum. Persyaratan ini perlu diketahui agar hasil ijtihad yang dihasilkan proporsional, tidak melahirkan sesuatu yang kontroversial dan tentunya tidak melahirkan otoritarianisme baru dalam wacana hukum Islam.[12]



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ijtihad adalah usaha serius yang bertujuan untuk menemukan hukum Tuhan, baik dari wahyu atau sumber-sumber hukum lainnya, dan dengan cara-cara tertentu yang diakui keabsahannya. Keabsahan ijtihad oleh Usuliyyun dilabuhkan pada beberapa dalil, baik al-Qur'an maupun hadis. dan yang paling populer ialah hadis Mu’ad bin Jabal yang oleh Rasul diutus ke Yaman untuk menjalankan misi dakwah. Dalam mempraktikkan ijtihad. seorang mujtahid merujuk pada sumber hukum, antara lain; al-Qur'an, sunnah. Keduanya merupakan sumber hukum primer, dan sebagai sumber hukum sekunder adalah ijma', qiyas. Selanjutnya, dalam menemukan suatu hukum seorang mujtahid harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya.

DAFTAR PUSTAKA
Diskusi Kelas Yang telah dilaksanakan oleh mahasiswa pascasarjana IAIN Sunan Ampel tanggal 25 Juni 2003.
Kallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Amani, 2003.
Kholilurrohman. Masa-II Diniyah, Jakarta: Abou Fateh, 2018.
Manan, Abdul. Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Depok: KENCANA, 2017.



[1] Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Depok: KENCANA, 2017), 106.
[2] Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia,107.
[3] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Amani 2003), 317.
[4] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 317.
[5] Ibid., 319
[6] Kholilurrohman, Masa-II Diniyah, (Jakarta: Abou Fateh 2018), 65-66.
[7] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Amani 2003), 320.
[8] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh,321.
[9] Ibid., 321.
[10] Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Depok: KENCANA, 2017), 109.
[11] Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, 109.
[12] Diskusi Kelas Yang telah dilaksanakan oleh mahasiswa pascasarjana IAIN Sunan Ampel tanggal 25 Juni 2003.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIOGRAFI IPPHO SANTOSA

Cara desain KEREN POP ICE DAN JUS BUAH background BIRU

Cara desain keren POP ICE DAN JUS BUAH background kuning