USHUL FIQH Pengertian dan kualifikasi (syarat-syarat mujtahid), Tugas-tugas Mujtahid, Kode Etik Mujtahid
LINK DOWNLOAD USHUL FIQH DOCX
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Latar
belakang yang membuat kami ingin menulis makalah ini adalah selain sebagai
tugas yang telah diberikan kepada kami, kami juga berharap banyak agar nantinya
kami dapat menyerap akan Ilmu yang ada di dalamnya. Mengingat pentingnya hasil
Ijtihad sebagai peran dalam tuntunan kehidupan sehari hari oleh kaum khususnya
muslimin. Menurut istilah, ijtihad adalah upaya maksimal dari seorang fikih
(mujtahid) dalam memperoleh ketentuan hukum yang bersifat dhanny Menurut
Al-Ghazali, melaksanakan ijtihad merupakan perbuatan yang bersifat dhanny yang
sangat berat dan sulit, hasil dari ijtihad tersebut harus diyakini baik oleh
mujtahid itu sendiri maupun oleh pengikutnya. Di samping pengertian ijtihad tersebut, para pakar hukum Islam
memberikan batasan pengertian ijtihad dalam arti sempit dan luas. Menurut
pengertian yang sempit, ijtihad sama artinya dengan pengertian qiyas, dengan
kata lain ijtihad itu hanya menjalankan qiyas atau membandingkan suatu hukum
dengan hukum yang lain. Adapun dalam arti yang luas, ijtihad adalah menggunakan
segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara'
dari Kittabullah dan Hadis atau
usaha maksimal dalam melahirkan hukum-hukum syariat dari dasar-dasamya melalui
pemikiran dan penelitian yang serius.
- Rumusan Masalah
1. Pengertian
dan kualifikasi (syarat-syarat mujtahid)
2. Tugas-tugas
Mujtahid
3. Kode
Etik Mujtahid
BAB II
PEMBAHASAN
- Arti Ijtihad
Kata
“ijtihad” dalam Lisan ul Arab
terambil dari kata al-jahd dan al-juhd, secara etimologi berarti al-thaqah, yaitu tenaga, kuasa, dan
daya. Menurut arti harfiah, ijtihad berarti mencurahkan tenaga, memeras
pikiran, berusaha dengan sungguh-sungguh, bekerja dengan semaksimal mungkin
untuk mendapat sesuatu yang diharapkan. Menurut istilah, ijtihad adalah upaya
maksimal dari seorang fikih (mujtahid) dalam memperoleh ketentuan hukum yang
bersifat dhanny Menurut Al-Ghazali, melaksanakan ijtihad merupakan perbuatan
yang bersifat dhanny yang sangat berat dan sulit, hasil dari ijtihad tersebut
harus diyakini baik oleh mujtahid itu sendiri maupun oleh pengikutnya.
Di
samping pengertian ijtihad tersebut, para pakar hukum Islam memberikan batasan
pengertian ijtihad dalam arti sempit dan luas. Menurut pengertian yang sempit,
ijtihad sama artinya dengan pengertian qiyas, dengan kata lain ijtihad itu
hanya menjalankan qiyas atau membandingkan suatu hukum dengan hukum yang lain.
Adapun dalam arti yang luas, ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan
untuk mengeluarkan hukum syara' dari Kittabullah dan Hadis atau usaha
maksimal dalam melahirkan hukum-hukum syariat dari dasar-dasamya melalui
pemikiran dan penelitian yang serius. Adapun menurut Ushuliyun, ijtihad adalah
mencurahkan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh mujtahid (fuqaha)
untuk mendapatkan dhan (dugaan kuat)
tentang hukum syara'.[1]
Pemikiran ijtihad dalam
pembaruan hukum Islam meliputi dua hal. Pertama,
ketegasan agama dalam menyebutkan suatu persoalan adalah memang sengaja sebagai
rahmat kepada umatnya. Dengan demikian, para mujtahid dapat leluasa memberikan
interpretasinya dan merealisasikannya sesuai dengan kehendak agama melalui
proses ijtihad, analogi, mashlahat mursalah, istihsan, istishlah, dan
sebagainya. Seperti diketahui bahwa ada sebagian bidang hukum telah diperinci
oleh Al-Qur'an dan al-Hadis, tetapi ada juga teks-teks hukum tidak disebutkan
secara tegas dan terperinci, tetapi hanya bersifat global. Realisasinya
dilakukan oleh pemikiran dan penelitian para ahli dengan melandasi diri dengan dasar-dasar
umum syariat Islam, sehingga hukum-hukum yang dihasilkan sejalan dengan
situasi, kondisi, dan kepentingan masyarakatnya. Kedua, menjelaskan teks-teks yang dhanny, baik dalam hal
orientasinya (Hadis-hadis Nabi pada umumnya bersifat demikian) maupun dhamzy
dalam pengertian yang dapat dipahami.[2]
Hal hal yang boleh dijadikan obyek
ijtihad :
Tidak
boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat nash yang jelas dan pasti.
Ijtihad menurut istilah ulama ushul adalah mengerahkan segala daya untuk
menghasilkan hukum syara' dari dalilnya yang rinci di antara dalil syara'. Jika
kejadian yang hendak diketahui hukum syaraknya itu telah ditunjukkan oleh dalil
yang sharih (jelas) dan petunjuk serta maknanya adalah pasti, maka tidak ada
peluang untuk ijtihad. Yang wajib adalah melaksanakan pemahaman yang
ditunjukkan nash. Karena selama dalil itu pasti datangnya, maka ketetapan dan
keluarnya dari Allah dan Rasul-Nya bukan menjadi obyek pembahasan dan sasaran
pengerahan daya. Selama dalil itu pasti maknanya, maka petunjuk atas makna dan
pengambilan hukum darinya bukan sasaran pembahasan dan ijtihad.
Atas
dasar ini, maka semua ayat-ayat hukum yang ditafsiri dan telah menun-jukkan
arti dengan jelas serta tidak mungkin ditakwil maka wajib menerapkannya dan
tidak ada peluang ijtihad dalam kejadian yang diterapkan itu.[3]
Dalam firman Allah SWT :
Perempuan yang berzina
dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera. (QS. an Nuuur: 43)
Tidak ada peluang
Ijtihad dalam hal jumlah hitungan dera. Begitu juga dalam setiap hukuman atau
denda yang ditentukan.
Maka dalam firman Allah SWT :
Dan dirikanlah sholat
, tunaikan zakat (QS.
al Baqarah: 43)
Setelah
sunnah perbuatan Nabi menjelaskan maksud dari shalat atau zakat, maka tidak ada
peluang berijtihad dalam menjelaskan pengertian keduanya. Selama nash itu
sharih dan ditafsir dengan bentuknya atau diikuti dengan penjelasan dan
keterangan syari' maka tidak ada peluang berijtihad pada masalah tersebut,
Contoh ayat-ayat al Quran yang ditafsiri dengan hadis mutawatir yaitu seperti
hadis tentang harta yang wajlb dikeluarkan zakatnya, ukuran nishab
masing-masing harta itu serta ukuran yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Apabila
kejadian yang hendak diketahui hukumnya terdapat nash yang makna dan datangnya
dugaan atau dugaan salah satunya saja, maka keduanya mempunyai peluang ijtihad.
Karena mujtahid itu meneliti dalil yang dugaan datangnya dari segi sanad
(jalan)nya, cara sampainya kepada kita dari Rasulullah dan tingkat keadilan,
kekuatan ingatan kepercayaan serta kejuj uran para rawinya. Dalam hal ini
kemampuan para mujtahid berbeda dalam dalilnya. Ada yang percaya pada
riwayatnya dan mengambilnya sebagai dalil dan ada yang tidak percaya dan tidak
mengambilnya sebagai dalil. Ini adalah salah satu di antara pembahasan yang
menjadi sebab perbedan pendapat di kalangan para mujtahid tentang hukum
sebangsa perbuatan.
Apabila
ijtihad mujtahid mengenai sanad itu telah membuat dia percaya tentang
periwayatan dan kejujuran rawinya, maka dia boleh berijtihad untuk mengetahui hukum
yang ditunjukkan oleh dalil dan peristiwa yang diterapkan kepada hukum itu.
Karena dalil itu terkadang lahirnya menunjukkan suatu arti tetapi yang dimaksud
bukan arti itu, kadang berbentuk umum, berbentuk mutlak dan kadang menggunakan
bentuk perintah atau larangan. Jadi, seorang mujtahid dengan ijtlhadnya dapat
mengetahui bahwa: Yang zhahir diartikan zhahir atau ditakwil, yang umum
diartikan umum atau ditakhshish. Begitu juga yang mutlak diartikan tetap mutlak
atau terbatas, perintah itu menunjukkan arti wajib atau yang lain, dan larangan
itu menunjukkan arti haram atau yang lain. Halhal yang dijadikan pedoman dalam
ijtihadnya antara lain kaidah dasar dari segi bahasa, tujuan perundangan hukum
syara', dasar atau kaidah umum dan nash lain yang menjelaskan hukum. Dari sini
ia dapat menyimpulkan apakah nash itu dapat diterapkan untuk kejadian ini atau
tidak.[4]
Demikian
juga bila kejadian itu tidak memiliki nash hukum sama sekali, maka ada peluang
yang luas untuk ijtihad. Karena mujtahid dapat melakukan penelitian untuk
mengetahui hukumnya dengan cara kias, istihsan, istish-haab, menjaga tradisi
atau kemaslahatan umum. Kesimpulannya, peluang ijtihad ada dua: Peristiwa yang
tidak ada nashnya sama sekali dan peristiwa yang memiliki nash tetapi tidak
pasti. Dan tidak ada peluang ijtihad pada masalah yang memiliki nash yang
pasti.
Atas
dasar kaidah umum pembentukan undang-undang ini, dalam kitab Ushuulul qawaniin
dikatakan: Pada dasarnya, selama undang-undang itu jelas, maka tidak boleh
mentakwil dan mengubah nash-nashnya. Ini didasarkan bahwa jiwa undang-undan g
itu mendorong terjadinya perubahan, meskipun seorang hakim secara pribadi
berpendapat bahwa nash ini tidak adil, karena penjelasannya dikembalikan kepada
yang menetapkan hukum sendiri. Sedangkan tugas seorang hakim terbatas pada
hukum yang berdasarkan undang-undang, bukan hukum mengalahkan undangundang.
Dalam pasal 129
Peraturan Mahkamah Sipil dikatakan: "Jika dalam undang-undang itu tidak
terdapat nash yang sharih, maka hukum diputuskan berdasarkan keadilan."
Selama dalam undangundang itu terdapat nash yang sharih maka ialah yang
diputuskan sebagai hukum.[5]
Maknanya
: “Seringkali terjadi orang menyampaikan
hadist kepada orang yang lebih memahaminya darinya” (H.R. at-Tirmidzi dan
Ibnu Hibban)
Hadits
ini menjelaskan bahwa manusia terbagi ke dalam dua tingkatan, Pertama: orang
yang tidak mampu beristinbath (menggali hukum dari teks-teks al Qur'an dan
hadits) dan berijtihad. Kedua: mereka yang mampu berijtihad. Karenanya kita
melihat ummat Islam, ada di antara mereka yang mujtahid (ahli ijtihad) seperti
Imam asy-Syafi'i dan yang lain mengikuti (taqlid) salah seorang imam mujtahid.
Jadi tidak setiap orang yang telah menulis sebuah kitab, kecil maupun besar
dapat mengambil tugas para Imam mujtahid dari kalangan ulama' as-Salaf
ashShalih tersebut, sehingga berfatwa, menghalalkan ini dan mengharamkan itu
tanpa merujuk kepada perkataan para Imam mujtahid dari kalangan salaf dan
khalaf yang telah dipercaya oleh umat karena jasa-jasa baik mereka. Dengan
demikian fatwa yang menyatakan adanya zakat penghasilan sama sekali tidak
berdasar dan menyalahi fatwa para ulama, karenanya tidak boleh diikuti sebab
fatwa ini bukan fatwa seorang mujtahid. Kita hanya akan mengikuti para ulama
yang mu'tabar. Bahkan jika penganjur fatwa ini berdalih mereka hanya melakukan
qiyas, kita katakan bahwa melakukan qiyas sekalipun, hal itu adalah tugas
khusus seorang mujtahid, yaitu mengambil hukum bagi sesuatu yang tidak ada
nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash karena ada kesamaan dan keserupaan
antara keduanya.
Para ulama ushul seperti imam asy-Syafi'i
berkata: ”Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid". Pendapat seperti ini
biasanya muncul dari orang yang tidak mempelajari ilmu agama dengan baik dan
bukan dengan cara bertalaqqi kepada para ulama yang terpercaya. Karenanya
disarankan kepada mereka untuk terlebih dahulu belajar ilmu agama dengan baik
kepada para ulama sehingga tidak terjatuh pada perbuatan mewajibkan sesuatu,
mengharamkan atau menghalalkannya secara gegabah. Hal ni dikarenakan, para
ulama salaf maupun khalaf sepakat bahwa ilmu agama tidak bisa diperoleh hanya
dengan membaca (muthala'ah) kitab-kitab. Tetapi harus dengan belajar secara
langsung (talaqqi) kepada seorang guru atau ulama yang terpercaya (tsiqah/kredibel)
yang mata rantai keilmuannya bersambung sampai kepada sahabat dan Rasulullah
shallallahu alayhi wasallam.[6]
C.
Syarat-syarat
Seseorang Cakap Berijtihad
Untuk membuktikan
seseorang itu cakap berijtihad dibutuhkan empat syarat:
a. Hendaknya
ia (calon mujtahid) mempunyai pengetahuan bahasa Arab, dari segi sintaksis dan
morfologinya, memiliki rasa bahasa dalam memahami gaya bahasa yang diperoleh
dari usaha memahami ilmu bahasa Arab dan cabang-cabangnya, memiliki pandangan
luas mengenai sastra dan yang mempengaruhi kefasihannya dalam bentuk syair,
prosa dan lainnya. Karena langkah pertama bagi seorang mujtahid adalah memahami
nash al Quran dan hadis sebagaimana bangsa Arab memahaminya, yang mana nash itu
diturunkan dengan bahasa mereka. Kemudian menerapkan kaidah umum dari segi
bahasa itu untuk mengambil maksud dari ungkapan dan kosa kata.[7]
b. Hendaknya
ia mempunyai pengetahuan tentang al Quran. Artinya, harus benar-benar
mengetahui hukum syara' yang dibawa oleh al Quran dan oleh ayat yang menetapkan
hukum-hukum itu. Dan mengetaui cara berkembangnya hukum dari ayat-ayat itu,
seperti jika terdapat suatu kejadian, maka mudah baginya mudah baginya
menghadirkan semua hukum pada tema kejadian itu dari ayat-ayat hukum dalam al
Quran. Mengetahui sebab yang sahih mengenai turunnya ayat dan mengetahui
penafsiran dan penakwilan ayat dari hadis-hadis. Dari pengetahuan-pengetahuan
ini dapat ditemukan hukum atas suatu peristiwa.
Ayat-ayat hukum dalam
al Quran tidak banyak, sebagian ahli tafsir telah menyendirikannya dengan tafsir
yang khusus. Adalah suatu kemungkinan untuk mengumpulkan ayat-ayat yang
berhubungan dengan tema tertentu dengan yang lainnya, a gar mudah bagi
seseorang untuk mengembalikan satu kelompok bahasan kepada ayat-ayat hukum
al-Quran yang mencakup Talak dan semua ayat yang mencakup hukum perkawinan,
waris, hukuman, muamalah dan hukum lain yang termasuk hukum dalam al Quran.
Sangat memudahkan juga bila setiap ayat disertai dengan sebab sahih tentang
turunnya ayat, hadis yang menjelaskan keglobalan ayat-ayat itu dan hadis yang
menerangkan penafsirannya. Dengan ini maka kumpulan undang-undang dalam al
Quran akan mudah merujuknya ketika dibutuhkan, mudah menyertakan materi satu
tema dengan lainnya. Dan suatu kesalahan jika satu ayat dipahami bahwa ayat itu
berdiri sendiri.
c. Ia juga harus memiliki pengetahuan tentang
hadis. Artinya harus benar-benar mengetahui hukum syara' yang dibawa oleh
hadis, misalnya mampu menghadirkan hukum dari dalil hadis dalam semua persoalan
tentang perbuatan mukallaf dan mengetahui tingkatan sanad hadis, seperti
riwayat yang sahih atau lemah. Para ulama telah berperan cukup besar dalam
masalah hadis Nabi ini. Mereka telah mencurahkan perhatiannya untuk sanad dan
rowi setiap hadis, sehingga orang-orang setelah mereka cukup melengkapi penelitian
terhadap sanad-sanadnya saja, sehingga setiap hadis itu dikenal dengan sebutan,
hadis mutawatir, masyhur, sahin, hasan atau dha'if(lemah).
Para ulama juga telah
berusaha mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusunnya menurut bab-bab ilmu
fikih dan perbuatan mukallf. Sehingga mudah bagi Seseorang untuk merujuk
hukum-hukum yang dibawa oleh hadis shahih, seperti hukum jual beli, talak,
perkawinan, hukuman, atau yang lain. Ia juga dapat merujuk kepada ayat atau
hadis yang menjelaskan tema-tema hukum. Dari penjelasan ayat dan hadis-hadis
tersebut hukum syara' dapat dipahami. Di antara kitab yang digunakan sebagai
referensi dalam hal mi adalah kitab "Nailil Authar " karangan Imam as
Syaukani.[8]
d. Hendaknya ia mengerti kisi-kisi kias. Artinya,
ia mengetahui illat (alasan) dan hikmah hukum syara' yang digunakan sebagai
dasar penetapan hukum. Hendaknya mengetahui semua cara yang ditempuh syari'
untuk mengetahui alasan dan hikmah hukum, memahami ihwal perbuatan dan muamalah
manusia, sehingga ia mengetahui realisasi illat hukum dari kejadian yang tidak
memiliki nash. Hendaknya ia juga mengetahui kemaslahatan dan tradisi manusia,
mengetahui apa yang dapat memotivasi mereka berbuat baik atau jahat. Sehingga
ketika ia tidak dapat menemukan cara untuk mengetahui hukum atas kejadian itu
dengan kias, maka ia menempuh cara lain di antara cara-cara yang digunakan oleh
syariat Islam untuk dapat mengeluarkan hukum terhadap kejadian yang tidak
memiliki nash.[9]
Syarat-syarat ijtihad yang ditetapkan
oleh ahli hukum Islam di kalangan para Ushuliyun, Yakni :
Seorang
mujtahid harus memiliki beberapa kriteria kemampuan yang telah ditetapkan
antara lain : pertama, harus
mengetahui dan memahami makna ayat-ayat hukum yang tersebut dalam Al-Qur'an dan
al-hadis. Ia tidak harus hafal ayat dan Hadis tersebut, tetapi minimal
mengetahui dan dapat mencarinya secara cepat bila diperlukan. Kedua, mengetahui bahasa Arab, karena
dengan mengetahui bahasa Arab ia dapat dengan mudah menafsirkan segala sesuatu
yang tersebut dalam Al-Qur'an dan al-Hadis. Ketiga,
mengetahui metodologi qiyas dengan baik. Keempat,
mengetahui nasilzh dan mansuhh, sehingga ia tidak ber pegang pada dalil yang
secara hukum sudah tidak dipakai lagi. Kelima,
harus mengetahui kaidah-kaidah ushul dengan baik dan juga harus mengetahui
dasar-dasar pemikiran yang mendasari rumusan-rumusan kaidah tersebut, sehingga
jika perlu ia menciptakan kaidah sendiri. Keenam, mengetahui maqashid al-ahham.[10]
Syarat-syarat ijtihad
sebagaimana tersebut di atas merupakan syarat ijtihad yang ditetapkan oleh ahli
hukum Islam di kalangan para Ushuliyun, bukan secara eksplisit ditetapkan oleh
Allah dan Rasul-Nya. Syarat-syarat untuk menentukan atau menentukan seseorang
sebagai mujtahid masih diperselisihkan, sebagaimana para pakar hukum di luar
Ushulliyun ada yang mensyaratkan bahwa seseorang mujtahid, di samping harus
memenuhi syarat yang telah ditentukan juga harus mengetahui ilmu bantu lainnya.
seperti ilmu mantik, astronomi, kalam, fikih dan cabang cabangnya, sosiologi,
sejarah, filsafat, dan ilmu-ilmu lain yang ada kaitannya dengan istinbat hukum
yang dilakukannya. Di samping syarat-syarat ini, ia harus memiliki integritas
teologis yang merefleksikan sikap keberagamaan yang jujur dan dapat dipercaya.
Terakhir, seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang zamannya,
masyarakatnya, permasalahannya umat, aliran ideologi, politik, agama, dan
mengetahui hubungan masyarakat dengan masyarakat lain serta sejauh mana
interaksi saling memengaruhi antar masyarakat tersebut.[11]
- Etika dan Kode Etik Mujtahid
Sejumlah
kualifikasi di atas sekaligus merupakan kode etik yang harus selalu dipedomani
oleh seorang mujtahid. Hal ini sejalan dengan pengertian kode etik itu sendiri.
yaitu norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi yang mengarahkan
dan memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan
sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.
Menurut
para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia
dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang
buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dan kata Yunani
ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran
bagi tingkah laku manusia yang baik.
Kode
etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasarkan
penerapan pemikiran etis atas suatu profesi. Kode etik profesi adalah rumusan
norma moral manusia yang mengemban profesi dan menjadi tolak ukur perbuatan
anggota kelompok profesi. Kode etik profesi merupakan upaya pencegahan berbuat
yang tidak etis bagi anggota. Dalam konteks ini, sejumlah kualifikasi mujtahid
di atas dibuat agar produk hukum yang dihasilkan oleh seorang mujtahid
benar-benar bisa dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun secara moral
agama. Meski mujtahid bukanlah profesi yang berorientasi materi, namun
kualifikasi serta kode etik yang ditetapkan oleh usuliyyun hampir tidak
dibantah oleh para mujtahid.
Selain itu dalam kesempatan dan diskusi
yang telah dilakukan ada beberapa etika dan kode etik mujtahid yang dapat
dipaparkan, yaitu:
- Sebuah
Ijtihad tidak dapat menggugurkan hasil ijtihad yang sudah dilakukan.
- Seorang
mujtahid harus memiliki kepribadian yang baik.
- Memiliki
integritas (keutuhan pribadi) moral yang luhur. dalam bentuk kejujuran dan
kepribadian yang baik.
- Seorang
mujtahid harus mengetahui kondisi masyarakat dan masa pada saat itu juga.
- Seorang
mujtahid harus pula mempertimbangkan kemaslahatan bagi umat.
- Hasil
ijtihad harus sesuai dengan kebutuhan pada saat itu.
- Memiliki
sifat wara' dan 'ifah.
- Dapat
menghormati hasil ijtihad ulama yang lain.
Demikian
etika-etika atau akhlak yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid dalam
memberikan istinbat hukum. Persyaratan ini perlu diketahui agar hasil ijtihad
yang dihasilkan proporsional, tidak melahirkan sesuatu yang kontroversial dan
tentunya tidak melahirkan otoritarianisme baru dalam wacana hukum Islam.[12]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ijtihad adalah usaha serius
yang bertujuan untuk menemukan hukum Tuhan, baik dari wahyu atau sumber-sumber
hukum lainnya, dan dengan cara-cara tertentu yang diakui keabsahannya.
Keabsahan ijtihad oleh Usuliyyun dilabuhkan pada beberapa dalil, baik al-Qur'an
maupun hadis. dan yang paling populer ialah hadis Mu’ad bin Jabal yang oleh
Rasul diutus ke Yaman untuk menjalankan misi dakwah. Dalam mempraktikkan
ijtihad. seorang mujtahid merujuk pada sumber hukum, antara lain; al-Qur'an,
sunnah. Keduanya merupakan sumber hukum primer, dan sebagai sumber hukum
sekunder adalah ijma', qiyas. Selanjutnya, dalam menemukan suatu hukum seorang
mujtahid harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang
melatarbelakanginya.
DAFTAR PUSTAKA
Diskusi
Kelas Yang telah dilaksanakan oleh mahasiswa pascasarjana IAIN Sunan Ampel
tanggal 25 Juni 2003.
Kallaf,
Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta
: Pustaka Amani, 2003.
Kholilurrohman.
Masa-II Diniyah, Jakarta: Abou Fateh,
2018.
Manan,
Abdul. Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia, Depok: KENCANA, 2017.
[9] Ibid., 321.
[12] Diskusi Kelas Yang
telah dilaksanakan oleh mahasiswa pascasarjana IAIN Sunan Ampel tanggal 25 Juni
2003.
Komentar
Posting Komentar