SOSOK ULUL ALBAB DALAM DINAMISASI HUKUM ISLAM


 Link download DOCX
SOSOK ULUL ALBAB DALAM DINAMISASI HUKUM ISLAM
Abstrak
Keberadaan ayat mutasyabih dalam Al-Qur’an merupakan salah satu wujud isyarat Allah kepada manusia untuk “berfikir”. Karena mutasyabih adalah istilah yang merujuk kepada ayat yang bersifat globlal dan sulit dipahami, yang membutuhkan takwil dan rincian. Menginterpretasi dan memahami ayat mutasyabih adalah aktivitas yang hanya bisa dilakukan oleh sebagaian kecil orang. Dalam hal ini sosok ulul albab dirasa memiliki kapasitas untuk melakukan suatu penelusuran hukum yang melampaui teks- teks normatif, inilah yang disebut dengan aktivitas penelusuran yang sifatnya adalah ekstratekstual (the venture beyond the text). Dikatakan bahwa ulul albab adalah juga merupakan sosok intelektual. Kaum intelektual sendiri berarti orang- orang yang mempunyai atau menunjukkan kemampuan nalar (reasoning power) yang baik, yang tertarik pada hal- hal rohani (things of mind). Upaya seperti itu akan senantiasa menjadi pendorong bagi kaum muslimin untuk terus menerus menggali berbagai ilmu menurut batas kesanggupannya dalam memahami ayat-ayat mutasyabih. Dengan demikian diharapkan akan dapat terhindar dari sikap taklid dan ikut- ikutan dalam tradisi hukum Islam.

Kata Kunci: Ulul albab, mutasyabih, Semantik, Hukum Islam
Pendahuluan

Kemajuan pesat yang terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi modern menimbulkan perubahan besar dalam segala bidang kehidupan manusia. Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak muncul hal- hal baru dalam kehidupan manusia dan menimbulkan perubahan dalam masyarakat. Dalam kajian hukum Islam era kontemporer, ada banyak hal yang menyebabkan munculnya pertanyaan, apakah hukum Islam bisa dan perlu direformasi? atau apakah hukum Islam perlu untuk diperbaharui dan diubah sesuai dengan kondisi dan tuntutan perubahan zaman? Perubahan struktur sosial dan munculnya masalah baru seperti transfusi darah, inseminasi buatan, bayi tabung, dan lain- lain, perlu diatur dan diselesaikan sesuai dengan ketentuan Islam.
Antisipasi masa depan tentunya didasarkan terhadap perkembangan dan indikasi- indikasi yang ada pada masa sekarang. Orang memperkirakan terjadinya berbagai macam perubahan sosial dan teknikal yang luas dan kompleks yang mempengaruhi pandangan hidup dan sikap manusia dalam berbagai masalah kehidupan, termasuk di dalamnya masalah hukum.
Hukum Islam dalam perkembangannya dituntut dapat menjawab persoalan- persoalan baru yang ada di tengah- tengah masyarakat. Nash- nash Al- Qur’an akan dipahami secara fleksibel, artinya hukum Islam tidak bersifat rigid. Semua ayat yang yang ada di dalam Al- Qur’an dapat dipahami maknanya, tidak hanya sebatas ayat- ayat muhkamat saja akan tetapi juga mampu melihat apa makna yang terkandung dalam ayat- ayat mutasyabihat. Untuk dapat merealisasikanya diperlukan sosok figur ulul albab. Seperti apa dan siapa kah sosok ulul albab dan bagaimana peranannya dalam dinamisasi hukum Islam, akan diuraikan lebih lanjut dalam makalah ini.

Hukum Islam Dalam Era Kontemporer
Islam sebagai agama wahyu yang terakhir berlaku dan dibutuhkan sepanjang zaman mempunyai pedoman dan prinsip dasar sebagai petunjuk bagi umat manusia agar mereka memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sebagai agama yang dibawa untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam, Islam tentu harus dapat menjawab semua permasalahan umat manusia yang telah dan akan timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila Islam tidak mampu menjawab permasalahan umat manusia tentu akan ditinggalkan. Hal ini tentu tidak diinginkan oleh siapa pun yang meyakini kebenaran ajaran Islam. Agar ajaran Islam selalu mampu menghadapi dan menjawab tantangan  zaman, hukum Islam perlu dikembangkan dan pemahaman terhadap Islam perlu terus- menerus diperbarui dengan memberikan penafsiran baru terhadap nash dengan cara menggali kemungkinan lain atau alternatif dalam syariat yang diyakini mampu menjadi sebuah solusi untuk menjawab masalah- masalah baru. Jadi, pembaruan hukum Islam dimaksudkan agar hukum Islam selalu mampu merealisasi tujuan syariat semaksimal mungkin, yaitu merealisasi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.[1]
Hukum Islam sebagai manifestasi kehendak syar’i dalam realitas kehidupan manusia menuntut terjadinya dialektika antara teks dan realitas yang selalu berusaha menemukan inovasi- inovasi baru dalam memadukannya. Inovasi- inovasi baru dalam hukum Islam tidak lain tujuannya adalah untuk kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat. Karena pada karakter dasarnya Islam itu tidak saja ma’qul (sensible) tetapi sekaligus juga ma’mul (aplicable). Dalam upaya inilah muncul gagasan Islam transformatif, pribumisasi Islam, dan humanisasi teologis.[2]
Sebagai upaya humanisasi hukum Islam, maka berbagai langkah ditempuh agar hukum Islam tidak terasa asing dengan lingkungan yang melingkupinya. Tidak saja berkutat pada dunia normatif (law in book) namun harus bergerak maju secara riil (law in action) secara historis kritis. Walaupun harus diakui bahwa anomali pengertian hukum Islam kadang terjadi. Di satu sisi hukum Islam dipahami sebagai syari’at yang mencerminkan keabadian (tidak berubah) dan hukum Islam dalam arti fiqh yang bersifat relatif dan berubah seiring percepatan dinamika ruang dan waktu. Namun dalam retasan sejarahnya kedua makna (syari’ah dan fiqh) itu menjadi kurang jelas dan tegas (clear and distinc) wilayahnya masing- masing. Seolah pemahaman umum yang berkembang menyatakan bahwa hukum Islam adalah syari’at, maka ia tidak boleh disentuh oleh tangan- tangan sejarah yang implikasinya adalah munculnya ortodoksi hukum Islam itu sendiri.[3]
Untuk menghindari fenomena ortodoksi hukum Islam ini maka diperlukan upaya yang bersifat dekonstruktif. Hal ini karena tradisi keilmuan Islam seperti fiqh masih berada dalam kungkungan logosentrisme artinya ia hanya berkutat pada tradisi pemikiran tertentu yang dilestarikan dalam sekian banyak teks yang saling berkaitan. Sehingga dari sini muncullah standar- standar pembakuan dalam hukum Islam yang menyebabkan kemandegan serta kejumudan dalam berfikir karena hukum Islam seolah sudah terserap dengan ideologi tertentu dan tidak leluasa untuk mengembangkan ilmunya.

Sosok Ulul Albab Dalam Dinamisasi Hukum Islam
1.        Pengertian Sosok Ulul Albab
            Sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran bahwa sosok ulul albab adalah sosok muslim yang mampu melihat sesuatu yang mutasyabih dan selalu berfihak mencari ridha Allah.[4]  Dalam hal yang terakhir ini, Al- Ghazali berpendapat bahwa untuk mampu melihat sesuatu yang mutasyabih seseorang harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu nahwu (tata bahasa Arab) sehingga ia benar- benar mampu membedakan antara yang muhkam[5] dan mutasyabih[6], yang hakiki dan majazi. Pandangan Al- Ghazali ini lebih menekankan dan menggarisbawahi bahwa kemampuan bahasa Arab itu semata- mata ditujukan untuk memahami maksud kandungan sumber hukum dengan sempurna.[7] 
Dari pandangan Al- Qur’an dapat kita ketahui bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk memahami alam. Melalui indera- indera eksternal dan intelek, manusia seharusnya lebih dekat kepada Tuhan dengan memahami tanda- tanda Ilahi. Dengan kata lain, bahwa di manapun dalam Al- Qur’an terdapat rujukan akan bukti- bukti Ilahi dalam dunia fisik, Allah selalu memberikan kemampuan untuk memahaminya kepada manusia- manusia dari kelompok khusus. Diantaranya yaitu kelompok ulul albab. Hal ini seperti disebutkan dalam Al- Qur’an surat Ali Imran ayat 7 dan 180, yang artinya:
Dia- lah yang menurunkan Al- Kitab (Al- Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat- ayat muhkamat. Itulah pokok- pokok isi Al- Qur’an dan yang lain (ayat- ayat) mutasyabihat. Adapun orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat- ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari- cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah. Dan orang- orang yang mendalam ilmunya berkata: ”Kami beriman kepada ayat- ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”, dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang- orang yang berakal. (QS. Ali Imran: 7)[8]

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan malam, ada tanda- tanda bagi orang yang memahami.(QS. Ali Imran: 190)[9]

Selain itu, ulul albab juga memiliki kemampuan penalaran, perenungan, ketakwaan, dan pengetahuan. Karakteristik mereka lainnya adalah  mendengarkan kebenaran, mampu menjauhi kepalsuan- kepalsuan ilusi, menyembah Tuhan, bijaksana, menyadari, dan mengambil pelajaran dari pengalaman- pengalaman masa lalu. Karakteristik ini disimpulkan dari ayat di bawah ini, pada setiap akhir ayat disebutkan kata ulul albab:
Yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang- orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang- orang yang memahami.
(QS. 39:18)[10]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ulul albab memiliki hampir seluruh karakteristik di dalam Al- Qur’an untuk memahami alam (kauniyah), dan tidak hanya memahami dan mengkaji ayat- ayat qouliyah saja. Mereka memiliki intelek yang dibersihkan, dan dengan demikian, memiliki kemampuan lebih untuk meraih pengetahuan tentang alam yang lebih dalam.[11]
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ulul albab adalah juga merupakan sosok intelektual. Kaum intelektual sendiri berarti orang- orang yang mempunyai atau menunjukkan kemampuan nalar (reasoning power) yang baik, yang tertarik pada hal- hal rohani (things of mind) seperti kesenian atau ide- ide demi seni itu sendiri. Mereka memiliki kemampuan melakukan pengamatan yang cermat terhadap gejala- gejala di suatu lingkungan, pemahaman tentang sebab- sebab gejala itu dan korelasinya dengan gejala lainnya, dan pada akhirnya perumusan suatu kesimpulan yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain dengan bahasa yang jelas.[12]
Adapun hasil kajian Muhaimin[13] terhadap istilah ulul albab sebagaimana yang terkandung dalam Al- Qur’an, menemukan adanya lima ciri utama yang dimiliki oleh sosok ulul albab, yaitu:
a)      Selalu sadar akan kehadiran Tuhan pada dirinya dalam segala situasi dan kondisi, sambil berusaha mengenali Allah dengan kalbu (dzikir) serta mengenali alam semesta dengan akal (pikir), sehingga sampai kepada bukti yang sangat nyata akan keagungan Allah SWT dengan segala ciptaannya.
b)      Tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah SWT, serta mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian dipilih yang baik walaupun sendirian dalam mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang.
c)      Mementingkan kualitas hidup baik dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan, sadar dan tahan uji walaupun ditimpa musibah dan diganggu oleh setan (jin dan manusia), serta tidak mau membuat onar, keresahan, kerusuan, dan berbuat makar di masyarakat.
d)      Bersungguh- bersungguh dalam mencari dan menggali ilmu pengetahuan, dan kritis dalam menerima pendapat, teori atau gagasan dari mana pun datangnya, serta pandai menimbang- nimbang untuk ditemukan yang terbaik.
e)      Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya, dan tidak suka duduk berpangku tangan dan hanya diam, tetapi justru tampil di hadapan  masyarakat, terpanggil hatinya untuk memecahkan problem yang ada di tengah- tengah masyarakat.[14]
Bertolak dari ke lima ciri utama tersebut, ciri yang ke satu dan yang ke dua menggarisbawahi sosok ulul albab yang memiliki kekokohan aqidah dan kedalaman spiritual, ciri yang ketiga menggarisbawahi sosok ulul albab yang memiliki komitmen terhadap akhlak mulia, dan ciri yang ke empat menggarisbawahi sosok ulul albab yang memiliki kematangan profesional. Dari situ lah kemudian dapat diformulasikan nilai- nilai yang harus dimiliki oleh sosok ulul albab ke dalam empat kalimat yaitu kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan profesional.[15]
 Ulul albab juga harus memiliki kematangan kepribadian, kematangan kemandirian dan kematangan keahlian. Generasi ulul albab adalah profil yang matang kepribadiannya (personality), memiliki jiwa mandiri, dan matang dalam keahliannya (kemampuan yang muncul dari hasil gabungan antara teori dan skill). Ketiga dimensi yang menunjukkan kematangan profesional tersebut dapat dijelaskan bahwa kematangan kepribadian merupakan puncak dari kekokohan akidah, yaitu pribadi yang mentaati agama yang telah diyakininya, peraturan yang ada, disiplin, mau dipimpin dan sanggup bekerja dalam kelompok/jama’ah. Kematangan kepribadian menghantarkan manusia pada derajat muslim.[16]
Kematangan kemandirian merupakan puncak dari proses pengembangan keagungan akhlak, yaitu pribadi militan, cekatan, tidak mudah menyerah, siap memimpin dan dipimpin, mampu beradaptasi sehingga dapat hidup di manapun dan kapanpun serta dapat bekerjasama dengan siapapun sekaligus mampu berkarya secara pribadi. Dalam level agama, orang ini mencapai derajat mukmin.kematangan keahlian merupakan puncak dari proses kekokohan intelektual (dasar teori dan pengetahuan) dan skill (dasar ketrampilan dan kerja lapangan) yang dilandasi dengan kode etik profesi. Kematangan keahlian melahirkan orang yang tekun, pekerja keras dalam bidangnya, kreatif dan inovatif. Kematangan kepribadian juga melahirkan figur yang berjiwa mujaddid (pembaharu) dan reformis, tidak puas terhadap apa yang ada dan yang sudah dicapai tetapi selalu melakukan pembaharuan- pembaharuan sehingga mampu mempersembahkan karya yang terbaik. Kematangan keahlian akan menghantarkan derajat manusia pada tingkatan muhsin.[17]
Orang yang mencapai kematangan profesional dalam bahasa agama adalah orang yang mampu mencapai derajat muslim, mukmin, muhsin kemudian mencapai derajat muttaqin. Figur Ulama’ yang Intelek Profesional dan atau Intelek Profesional yang Ulama’ yang disebut sebagai generasi Ulul Albab nampaknya sudah sangat tepat.[18]
Dalam referensi lain juga ditemukan bahwa, kata lain yang memiliki makna yang setara dengan kata ulul albab adalah kata cendekiawan.[19] Peran cendekiawan adalah kesanggupan membuka cakrawala baru yang lebih luas terhadap masyarakat dan lebih khusus lagi kepada umatnya terutama dalam menghadapi perubahan- perubahan baik sosial maupun teknologi, serta membedah kebuntuan sosial seperti eksklusivisme, fatalisme, dan lain sebagainya. Hal demikian dibebankan kepada para cendekiawan mengingat merekalah yang mempunyai sikap kritis, kosmopolitan rasional dan lain sebagainya.[20]
Prof. Toyib Hadiwidjaja menyatakan bahwa para cendikiawan itu diharapkan memiliki beberapa ”kematangan”, yaitu:
a)      Kematangan Intelektual (mampu berfikir jernih, rasional, analitis, kritis, dan metodologis)
b)      Kematangan Emosioanal (Mampu mengendalikan emosinya, memiliki kontrol diri yang kuat, tekun dan tabah menghadapi tantangan).
c)      Kematangan Sosial (mampu hidup di tengah- tengah lapisan masyarakat yang mungkin berbeda watak dan kepentingannya, dan mampu mempengaruhi pandangan, sikap, dan perilaku masyarakatnya).
d)      Kematangan Spiritual (mempunyai kearifan dalam menghadapi berbagai masalah, sanggup melakukan koreksi diri dan selalu mendengar suara hati nuraninya yang paling dalam).[21] 
Dalam aplikasinya, sosok tersebut diharapkan mampu mengintegrasikan antara ilmu dan agama, serta mampu menjawab kegelisahan- kegelisahan yang ada, khususnya dalam bidang hukum Islam maka diperlukan upaya baru dalam memahami hukum Islam.


2.        Peran Ulul Albab Dalam Dinamisasi Hukum Islam
a) Integrasi Ilmu Dan Agama Sebagai Salah Satu Upaya Menjawab Problematika Dalam Hukum Islam
Hukum Islam atau biasa disebut dengan syari’ah selama ini diartikan sebagai hukum Tuhan, yang diturunkan untuk mengatur kehidupan manusia, umat Islam khususnya. Hukum Islam bersifat sacred karena ia merupakan wahyu Tuhan (divinely revealed)[22] dan bersifat abadi.[23] Syari’ah adalah sebagai sistem perintah Tuhan yang komprehensif dan ditentukan sebelumnya, sebuah sistem hukum yang mempunyai eksistensi terlepas dari masyarakat, tidak timbul dari masyarakat tetapi ditetapkan dari atas (Tuhan) untuk masyarakat.[24]
Cara berfikir demikian pada akhirnya akan membentuk karakteristik pola fikih klasik, yang kajiannya lebih mengarah pada law in book daripada law in action. Para jurist muslim klasik merumuskan suatu ketentuan/hukum dengan mendasarkan pada analisis tekstual (Al- Qur’an dan Hadits) tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan aspek- aspek lain yang ada di luar teks tersebut – social change –. Bisa dikatakan bahwa hal tersebut berakar dari krisis metodologi hukum Islam (ushul fiqh) yang memberikan penekanan (stressing) dan perlakuan berlebihan terhadap teks- teks wahyu, dan sebaliknya kurang memperhatikan realitas yang ada di sekitarnya. Hal ini mengakibatkan studi hukum Islam seolah menjadi semata- mata studi teks. Oleh karena itu, kajian mengenai hukum Islam khususnya metodologi hukum Islam saat ini dirasa sangat kurang akan:
Ø  Analisis sosial empiris (lack of empiricism).
Ø  Sistematisasi hukum yang diturunkan dari pengalaman- pengalaman lapangan (lack of systematization).[25]
Upaya mengintegrasikan ilmu dan agama selama ini tampaknya dirasakan sebagai suatu hal yang sulit dilakukan. Ilmu yang sesungguhnya adalah hasil dari kegiatan observasi, eksperimen, dan kerja rasio pada satu sisi dipisahkan dari agama (Islam) yang bersumber pada kitab suci Al- Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan sesungguhnya hanyalah merupakan hasil temuan manusia dari pergulatan penelitiannya – dan karenanya, tingkat kebenarannya relatif – dipisahkan dari Al- Qur’an dan Sunnah yang memiliki kebenaran mutlak. Keduanya – pengetahuan ilmiah maupun pengetahuan wahyu – pada hakikatnya memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk memahami alam dan kehidupan ini. Keduanya berfungsi untuk menyingkap tabir rahasia alam atau sosial yang dibutuhkan oleh umat manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kebahagiaan hidupnya.
Keduanya dapat dipadukan, namun bukan dalam makna dicampurkan karena keduanya tidak boleh dilihat secara terpisah. Keduanya adalah ilmu pengetahuan yang ditekankan oleh Islam. Yang berbeda hanyalah sumber dari mana pengetahuan itu diperoleh. Yang satu adalah pengetahuan yang hanya dapat diperoleh melalui wahyu, sedangkan yang lain hanya dapat diperoleh melalui kegiatan penelitian. Isi Al- Qur’an yang bersifat universal tentunya tidak akan menjamah persoalan yang bersifat kondisional dan temporal.[26]
Ilmu dan agama merupakan dua hal yang komplementer, keduanya saling melengkapi satu sama lain. Agama berfumgsi untuk menetapkan tujuan tetapi ia tidak dapat mencapainya tanpa bantuan ilmu pengetahuan. Ilmu yang kuat dapat menambah sekaligus memperkuat keyakinan agama. Agama akan senantiasa memotivasi pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan membahayakan manusia apabila tidak diimbangi dengan agama.[27] Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu lumpuh.
Di sini lah peran ulul albab akan sangat tampak, karena seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sosok ulul albab itu adalah mereka yang mampu mengkaji dan memahami Al- Qur’an dari segi qouliyah dan kauniyah, kedua- keduanya dikaji tanpa menafikan salah satunya. Dengan demikian, friksi dan tensi antara ilmu dan agama dapat diminimalisir dan bahkan dihilangkan. Sosok ulul albab sebagaimana yang telah disebutkan diharapkan mampu mengintegrasikan antara ilmu dan agama sebagai salah satu solusi dalam problem- problem hukum Islam saat ini.
b) Melakukan Ijtihad Jama’i (Kolektif)
Seiring dengan perkembangan zaman, dalam perjalanannya hukum Islam akan banyak menghadapi tantangan. Agar semua persoalan dewasa ini dapat ditangani dan dijawab oleh Hukum Islam, maka salah satu upayanya adalah melalui lembaga ijtihad. Model ijtihad seperti apa yang cocok dengan kondisi saat ini, Prof. Dr. Umar Shihab menguraikan berikut ini:
1)      Ijtihad Intiqa’i (Tarjih)
Dalam ijtihad ini para mujtahid dituntut untuk mengadakan studi perbandingan di antara pendapat- pendapat yang tedapat suatu perbedaan, kemudian memilih pendapat yang dipandang kuat dan lebih sesuai dengan kondisinya.
2)      Ijtihad Insya’i (Penalaran Baru)
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi dunia banyak membawa pengaruh perubahan pola pikir dan sikap hidup masyarakat. Sikap rasional yang menjadi ciri utama masyarakat modern membuat praktek ilmu fikih kurang mampu lagi menjawab permasalahan baru tersebut.
Upaya untuk mengantisipasi permasalahan ini tidak akan tercapai apabila mujtahid sekarang hanya terpaku pada pendapat ulama terdahulu, sebab mereka belum mengalami kasus- kasus itu apalagi berijtihad dalam hal tersebut.
3)      Ijtihad Komparatif (Perbandingan)
Ijtihad komparatif adalah menggabungkan kedua bentuk ijtihad di atas (intiqa’i dan insya’i). Dengan demikian, di samping untuk menguatkan atau mengkompromikan beberapa pendapat juga diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman.[28]
Dari ketiga model ijtihad yang dianggap cocok pada masa sekarang ini tentu saja cara yang paling relevan dan lebih dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya secara ilmiah dan akademik adalah dilakuan dengan cara kolektif (jama’i), yaitu ijtihad yang melibatkan beberapa ahli lintas profesi. Karena ijtihad yang dilakukan secara bersama- sama dari orang- orang yang memiliki dan menguasai disiplin beragam akan lebih bisa menyerap seluruh persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, hasil ijtihadnya mampu memberikan jawaban secara utuh dan menyeluruh.
Ijtihad kolektif merupakan bentuk ijtihad yang mengakui dan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu pengetahuan di kalangan ahli untuk memecahkan problem hukum Islam yang terjadi di masyarakat. Keterlibatan berbagai ahli ini dapat memudahkan jalan bagi seseorang yang sedang menghadapi problematika serius.[29] Berbagai ahli tersebut dikumpulkan dengan tujuan untuk saling komplementer, masing- masing anggota memiliki keahlian sesuai dengan bidangnya.
Semua upaya di atas dilakukan karena peranan hukum Islam dalam kehidupan umat Islam tentunya masih sangat besar, dan yang menjadi masalah adalah sejauh mana hukum dapat melayani tuntutan kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perubahan. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai solusi untuk mengatasi tantangan di atas, yaitu:
1)      Harus mampu memahami tingkat perubahan kemasyarakatan dan keilmuan yang berkembang dalam lingkungan kita, dan memandangnya sebagai sunnatullah yang tidak mungkin dihindari.
2)      Menelaah kembali formulasi- formulasi hukum Islam.
3)      Dengan niat dan usaha yang maksimal berusaha menemukan pemecahan- pemecahan hukum, melalui ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) dengan mendayagunakan berbagai otoritas keilmuan  yang dimiliki oleh umat Islam, mengingat masalah- masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat modern begitu kompleks dan saling terkait. Itulah sebabnya ijtihad (apapun tingkatnya) sulit dilakukan secara individual.[30]
Pengaruh dan kredibilitas hukum Islam menghadapi masyarakat mendatang akan banyak tergantung pada kemampuan para ulama dan cendikiawan Islam (ulul albab) dalam menafsirkan dan merumuskan kembali hukum- hukum tersebut di atas realitas yang ada. Hukum Islam yang dapat diletakkan di atas kenyataan yang berlaku, bukan hanya diabadikan sebagai ideal- ideal yang mustahil diwujudkan. Apalagi perkembangan yang sifatnya dharuri juga banyak terjadi. Hal tersebut merupakan upaya realisasi misi utama Islam sebagai Rahmatan lil ‘Alamiin.

Hubungan Antara Ulul Albab Dan Analisis Logik Filsafat Ilmu
Dalam mengkaji makalah ini, penulis menggunakan salah satu analisis logik dalam kajian filsafat ilmu, yaitu logika bahasa. Logika ini digunakan sebagai pisau analisis terkait dengan pembahasan sosok ulul albab dalam mengkaji ayat- ayat mutasyabih ditinjau dari segi linguistik (sintaktikal, semantikal, dan hermeneutik). Dalam ilmu fiqih, yang dimaksud dengan ayat mutasyabih adalah ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam. Mutasyabih adalah istilah yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk ayat yang bersifat globlal dan sulit dipahami, yang membutuhkan takwil dan rincian.[31]  Apabila dikaitkan dengan ilmu bahasa maka ayat mutasyabih termasuk dalam kategori makna semantik, karena ayat tersebut menyimpan sebuah simbol yang tersirat. Studi semantik akan menjadi fokus pembahasan dalam bab ini.
Semantik yang semula berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna to signify atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian studi tentang makna. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi umumnya menduduki tingkat pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka komponen makna menduduki tingkatan paling akhir. Hubungan ketiga komponen itu sesuai dengan kenyataan bahwa (a) bahasa pada awalnya merupakan bunyi- bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang- lambang tertentu, (b) lambang- lambang merupakan seperangkat sistem yang memiliki tataan dan hubungan tertentu, dan (c) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu.[32]
            Menurut Ferdinand de Saussure, bahasa sebagai sistem tanda diindikatori oleh adanya hubungan yang erat antara (a) signifiant, yakni gambaran tatanan bunyi secara abstrak dalam kesadaran batin para pemakainya, (b) signifie, yakni gambaran makna secara abstrak sehubungan dengan adanya kemungkinan hubungan antara abstraksi bunyi dengan dunia luar, (c) form, yakni kaidah abstrak yang mengatur hubungan antara butir- butir abstraksi bunyi sehingga memungkinkan digunakan untuk berekspresi, serta (d) substance, yaitu perwujudan bunyi ujaran khas ”manusia”.[33]
Ketika mengkaji ayat- ayat mutasyabih maka sangat erat sekali kaitannya dengan ilmu semantik. Karena semantik menawarkan sebuah kunci untuk membuka makna simbolik di balik sebuah kalimat. Dalam hal ini, maka semantik adalah kunci untuk menggali makna yang terdapat dalam ayat- ayat mutasyabih.
 Para sosok ulul albab sebagai cendikiawan yang mampu melihat sesuatu yang mutasyabih, diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan – khususnya dalam bidang hukum Islam – untuk menjawab persoalan- persoalan kekinian. Karena seiring dengan perubahan zaman yang terus berkembang, maka banyak sekali kasus- kasus hukum kasuistik yang muncul, yang status hukumnya tidak disebutkan dalam naskah- naskah tekstual. Berdasarkan hal tersebut, sosok ulul albab dirasa memiliki kapasitas untuk melakukan suatu penelusuran hukum yang melampaui teks- teks normatif, inilah yang disebut dengan aktivitas penelusuran yang sifatnya adalah ekstratekstual (the venture beyond the text).
Penutup
            Dari pembahasan mengenai ulul albab yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosok ulul albab adalah sosok yang mampu melihat sesuatu yang mutasyabih, memiliki kemampuan penalaran, perenungan, ketakwaan, dan pengetahuan. Selain itu, mereka juga memiliki hampir seluruh karakteristik di dalam Al- Qur’an untuk memahami alam (kauniyah), dan tidak hanya memahami dan mengkaji ayat- ayat qouliyah saja. Mereka memiliki intelek yang dibersihkan, dan dengan demikian, memiliki kemampuan lebih untuk meraih pengetahuan tentang alam yang lebih dalam. Adapun formulasi nilai- nilai yang harus dimiliki oleh sosok ulul albab yaitu kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Dengan mengintrodusir profil ulul albabUlama’ yang Intelek Profesional dan Intelek Profesional yang Ulama’ – diharapkan sosok ulul albab akan tetap survive dalam dinamisasi hukum Islam yang akan terus berkembang.
Sosok ulul albab berusaha menciptakan harmonisasi antara ilmu dan agama sebagai ruang arbitrasi di antara keduanya, yang selama ini dianggap sebagai suatu hal yang sulit untuk direalisasikan. Karena ilmu dan agama adalah sesuatu yang bersifat komplementer/saling melengkapi. Selain itu, sosok ulul albab juga mencoba mensosialisasikan ijtihad jama’i (kolektif) yaitu ijtihad yang dilakukan dengan melibatkan beberapa ahli lintas profesi. Karena ijtihad yang dilakukan secara bersama- sama dari orang- orang yang memiliki dan menguasai disiplin beragam akan lebih bisa menyerap seluruh persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, hasil ijtihadnya mampu memberikan jawaban secara utuh dan menyeluruh.
Dengan menggunakan analisis logik semantik maka ayat- ayat mutasyabihat dapat dikaji secara lebih mendalam. Karena analisis logik semantik bertujuan untuk menemukan makna simbolik/makna tersirat yang terkandung dalam sebuah kalimat.
Sebagai sebuah epilog, perlu untuk ditegaskan kembali bahwa agar ajaran Islam selalu mampu menghadapi dan menjawab tantangan  zaman, hukum Islam perlu dikembangkan dan pemahaman terhadap Islam perlu terus- menerus diperbarui dengan memberikan penafsiran baru terhadap nash dengan cara menggali kemungkinan lain atau alternatif dalam syari’at yang diyakini mampu menjadi sebuah solusi untuk menjawab masalah- masalah baru yang muncul.


Daftar Pustaka
Aminuddin. 1988. Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: CV. Sinar Baru.

Arief, Abdul Salam. 2003. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: LESFI.

Bisri, Cik Hasan. 2004. Pilar- Pilar Penelitian Hukum Islam Dan Pranata Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Coulson, Noel J. 2001. Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence/Konflik dalam Yurisprudensi Islam, Fuad (terj.). Yogyakarta: Navila.

Davis, Nancy J. and Robert V. Robinson. 2006. The Egalitarian Face of Islamic Orthodoxy. American Sociological Review.

DEPAG RI. 1989. Al- Qur’an Dan Terjemahnya. Semarang: CV. Toha Putra.

Ghulsyani, Mahdi. 1998. Filsafat-Sains Menurut Al- Qur’an. Bandung: Mizan.

Hasan. Muhammad Tholhah. 2005. Islam&Masalah Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lantabora Press.

Huda, Miftahul. 2006. Filsafat Hukum Islam. Ponorogo: STAIN PO Press.

Muhadjir, Noeng. 2006. Filsafat Ilmu Kualitatif&Kuantitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Murni, Wahid. 2006. ”Membangun Zona Ulul Albab di UIN Malang”, dalam 2 Tahun UIN Malang; Reorientasi Budaya Akademik Perguruan Tinggi, M. In’am Esha dan Helmi Syaifuddin. Malang: UIN Malang Press.

Mustofa, Abdul Wahid. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika.

Rahim, Abdur. 1994. The Principles of Islamic Jurisprudence. New Delhi: Kitab Bhavan.

Roy, Muhammad. tt. Filasafat Hukum Al- Thufi Dan Dinamisasi Hukum Islam. Yogyakarta: Pondok Pesantren UII.

Safi, Louay. 1993. The Foundation of Knowledge; A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry. Malaysia: International Islamic University Malaysia and International Institute of Islamic Thought.

Suprayogo, Imam. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama;Interpretasi dan Aksi. Bandung: PT Mizan Pustaka.

Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Teras.




[1] Abdul Wahid Mustofa, Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 59.
[2] Muhammad Roy, Filsafat Hukum Al-Thufi Dan Dinamisasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pondok Pesantren UII), hal. 1- 2.
[3] Ibid., hal. 3- 4.
[4] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Kualitatif&Kuantitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006), hal. 222.
[5] Yang dimaksud dengan muhkam di sini adalah ayat yang muhkamat, yaitu ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah.
[6] Ayat mutasyabihat adalah ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
[7] Abd. Salam Arief, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: LESFI, 2003), hal. 34.
[8] Depag RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hal. 76.
[9] Ibid., hal. 109.
[10] Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains Menurut Al- Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), hal. 103.
[11] Ibid., hal. 104.
[12] Muhammad Tholhah Hasan, Islam&Masalah Sumber Daya Manusia (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hal. 206.
[13] Peneliti adalah salah satu dosen di UIN Malang.
[14] Wahid Murni, ”Membangun Zona Ulul Albab Di UIN Malang”, dalam 2 Tahun UIN Malang Reorientasi Budaya Akademik Perguruan Tinggi, Muhammad In’am Esha dan Helmi Syaifuddin (Malang: UIN Malang Press, 2006), hal. 53- 54.
[15] Ibid., hal 55.
[16] Ibid., hal 56.
[17] Ibid., hal 55.
[18] Ibid., hal 55.
[19] Cik Hasan Bisri, Pilar- Pilar Penelitian Hukum Islam Dan Pranata Sosial (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 119.
[20] Ibid., hal 212- 213.
[21] Ibid., hal 213.
[22] Abdur Rahim membedakan antara hukum wahyu (revealed laws) dan hukum non-wahyu (unrevealed laws). Yang disebut pertama adalah hukum yang dapat ditemukan dalam Al- Qur’an, sedangkan yang kedua adalah hukum yang ditentukan oleh penyimpulan seorang jurist. Abdur Rahim, The Principles of Islamic Jurisprudence (New Delhi: Kitab Bhavan, 1994), hal 59.
[23] Nancy J. Davis dan Robert V. Robinson, The Egalitarian Face of Islamic Orthodoxy (American Sociological Review: 2006), hal 169.
[24] Noel J. Coulson, Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence/Konflik dalam Yurisprudensi Islam., hal 74.
[25] Louay Safi, The Foundation of Knowledge; A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry (Malaysia: International Islamic University Malaysia, 1993), hal 33.
[26] Imam Suprayogo, Integrasi Ilmu dan Agama;Interpretasi dan Aksi (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), hal 219- 220.
[27] Miftahul Huda, Filsafat Hukum Islam (Ponorogo: STAIN PO Press, 2006), hal 15.
[28] Ibid., hal 77.
[29] Ibid., hal 77- 78.
[30] M. Tholhah Hasan, Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hal. 133- 135.
[31] Usman, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 224.
[32] Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna (Bandung: CV. Sinar Baru, 1988), hal. 15.
[33] Ibid., hal 16.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara desain KEREN POP ICE DAN JUS BUAH background BIRU

Cara desain keren POP ICE DAN JUS BUAH background kuning

BIOGRAFI IPPHO SANTOSA