SOSOK ULUL ALBAB DALAM DINAMISASI HUKUM ISLAM
Link download DOCX
SOSOK ULUL ALBAB DALAM DINAMISASI HUKUM ISLAM
Abstrak
Keberadaan ayat mutasyabih dalam Al-Qur’an merupakan salah satu wujud
isyarat Allah kepada manusia untuk “berfikir”. Karena mutasyabih adalah istilah
yang merujuk kepada ayat yang bersifat globlal dan sulit dipahami, yang
membutuhkan takwil dan rincian. Menginterpretasi dan memahami ayat mutasyabih
adalah aktivitas yang hanya bisa dilakukan oleh sebagaian kecil orang. Dalam hal ini sosok ulul albab dirasa
memiliki kapasitas untuk melakukan suatu penelusuran hukum yang melampaui teks-
teks normatif, inilah yang disebut dengan aktivitas penelusuran yang sifatnya
adalah ekstratekstual (the venture beyond the text). Dikatakan bahwa ulul albab adalah juga merupakan
sosok intelektual. Kaum intelektual sendiri berarti orang- orang yang mempunyai
atau menunjukkan kemampuan nalar (reasoning power) yang baik, yang tertarik
pada hal- hal rohani (things of mind). Upaya seperti itu akan
senantiasa menjadi pendorong bagi kaum muslimin untuk terus menerus menggali
berbagai ilmu menurut batas kesanggupannya dalam memahami ayat-ayat mutasyabih.
Dengan demikian diharapkan akan dapat terhindar dari sikap taklid dan ikut-
ikutan dalam tradisi hukum Islam.
Kata Kunci: Ulul albab, mutasyabih, Semantik, Hukum Islam
Pendahuluan
Kemajuan pesat yang terjadi
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi modern menimbulkan perubahan besar
dalam segala bidang kehidupan manusia. Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, banyak muncul hal- hal baru dalam kehidupan manusia dan menimbulkan
perubahan dalam masyarakat. Dalam kajian hukum Islam era kontemporer, ada
banyak hal yang menyebabkan munculnya pertanyaan, apakah hukum Islam bisa dan
perlu direformasi? atau apakah hukum Islam perlu untuk diperbaharui dan diubah
sesuai dengan kondisi dan tuntutan perubahan zaman? Perubahan struktur sosial
dan munculnya masalah baru seperti transfusi darah, inseminasi buatan, bayi
tabung, dan lain- lain, perlu diatur dan diselesaikan sesuai dengan ketentuan
Islam.
Antisipasi masa depan tentunya
didasarkan terhadap perkembangan dan indikasi- indikasi yang ada pada masa
sekarang. Orang memperkirakan terjadinya berbagai macam perubahan sosial dan
teknikal yang luas dan kompleks yang mempengaruhi pandangan hidup dan sikap
manusia dalam berbagai masalah kehidupan, termasuk di dalamnya masalah hukum.
Hukum Islam dalam
perkembangannya dituntut dapat menjawab persoalan- persoalan baru yang ada di
tengah- tengah masyarakat. Nash- nash Al- Qur’an akan dipahami secara
fleksibel, artinya hukum Islam tidak bersifat rigid. Semua ayat yang yang ada
di dalam Al- Qur’an dapat dipahami maknanya, tidak hanya sebatas ayat- ayat muhkamat
saja akan tetapi juga mampu melihat apa makna yang terkandung dalam ayat- ayat mutasyabihat.
Untuk dapat merealisasikanya diperlukan sosok figur ulul albab. Seperti
apa dan siapa kah sosok ulul albab dan bagaimana peranannya dalam
dinamisasi hukum Islam, akan diuraikan lebih lanjut dalam makalah ini.
Hukum Islam Dalam Era Kontemporer
Islam sebagai agama wahyu yang
terakhir berlaku dan dibutuhkan sepanjang zaman mempunyai pedoman dan prinsip
dasar sebagai petunjuk bagi umat manusia agar mereka memperoleh kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat. Sebagai agama yang dibawa untuk menjadi rahmat
bagi sekalian alam, Islam tentu harus dapat menjawab semua permasalahan umat
manusia yang telah dan akan timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Apabila Islam tidak mampu menjawab permasalahan umat manusia tentu
akan ditinggalkan. Hal ini tentu tidak diinginkan oleh siapa pun yang meyakini
kebenaran ajaran Islam. Agar ajaran Islam selalu mampu menghadapi dan menjawab
tantangan zaman, hukum Islam perlu
dikembangkan dan pemahaman terhadap Islam perlu terus- menerus diperbarui
dengan memberikan penafsiran baru terhadap nash dengan cara menggali
kemungkinan lain atau alternatif dalam syariat yang diyakini mampu menjadi
sebuah solusi untuk menjawab masalah- masalah baru. Jadi, pembaruan hukum Islam
dimaksudkan agar hukum Islam selalu mampu merealisasi tujuan syariat semaksimal
mungkin, yaitu merealisasi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.[1]
Hukum Islam sebagai
manifestasi kehendak syar’i dalam realitas kehidupan manusia menuntut
terjadinya dialektika antara teks dan realitas yang selalu berusaha menemukan
inovasi- inovasi baru dalam memadukannya. Inovasi- inovasi baru dalam hukum
Islam tidak lain tujuannya adalah untuk kemaslahatan baik di dunia maupun di
akhirat. Karena pada karakter dasarnya Islam itu tidak saja ma’qul (sensible)
tetapi sekaligus juga ma’mul (aplicable). Dalam upaya inilah
muncul gagasan Islam transformatif, pribumisasi Islam, dan humanisasi teologis.[2]
Sebagai upaya humanisasi hukum
Islam, maka berbagai langkah ditempuh agar hukum Islam tidak terasa asing
dengan lingkungan yang melingkupinya. Tidak saja berkutat pada dunia normatif (law
in book) namun harus bergerak maju secara riil (law in action)
secara historis kritis. Walaupun harus diakui bahwa anomali pengertian hukum
Islam kadang terjadi. Di satu sisi hukum Islam dipahami sebagai syari’at yang
mencerminkan keabadian (tidak berubah) dan hukum Islam dalam arti fiqh yang
bersifat relatif dan berubah seiring percepatan dinamika ruang dan waktu. Namun
dalam retasan sejarahnya kedua makna (syari’ah dan fiqh) itu
menjadi kurang jelas dan tegas (clear and distinc) wilayahnya masing-
masing. Seolah pemahaman umum yang berkembang menyatakan bahwa hukum Islam
adalah syari’at, maka ia tidak boleh disentuh oleh tangan- tangan sejarah yang
implikasinya adalah munculnya ortodoksi hukum Islam itu sendiri.[3]
Untuk menghindari fenomena
ortodoksi hukum Islam ini maka diperlukan upaya yang bersifat dekonstruktif.
Hal ini karena tradisi keilmuan Islam seperti fiqh masih berada dalam
kungkungan logosentrisme artinya ia hanya berkutat pada tradisi pemikiran
tertentu yang dilestarikan dalam sekian banyak teks yang saling berkaitan.
Sehingga dari sini muncullah standar- standar pembakuan dalam hukum Islam yang
menyebabkan kemandegan serta kejumudan dalam berfikir karena hukum Islam seolah
sudah terserap dengan ideologi tertentu dan tidak leluasa untuk mengembangkan
ilmunya.
Sosok Ulul Albab Dalam Dinamisasi Hukum Islam
1.
Pengertian Sosok Ulul Albab
Sebagaimana disebutkan dalam surat Ali
Imran bahwa sosok ulul albab adalah sosok muslim yang mampu melihat
sesuatu yang mutasyabih dan selalu berfihak mencari ridha Allah.[4] Dalam hal yang terakhir ini, Al- Ghazali
berpendapat bahwa untuk mampu melihat sesuatu yang mutasyabih seseorang
harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu nahwu (tata bahasa Arab)
sehingga ia benar- benar mampu membedakan antara yang muhkam[5]
dan mutasyabih[6],
yang hakiki dan majazi. Pandangan Al- Ghazali ini lebih
menekankan dan menggarisbawahi bahwa kemampuan bahasa Arab itu semata- mata
ditujukan untuk memahami maksud kandungan sumber hukum dengan sempurna.[7]
Dari pandangan Al- Qur’an dapat
kita ketahui bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk memahami alam. Melalui
indera- indera eksternal dan intelek, manusia seharusnya lebih dekat kepada
Tuhan dengan memahami tanda- tanda Ilahi. Dengan kata lain, bahwa di
manapun dalam Al- Qur’an terdapat rujukan akan bukti- bukti Ilahi dalam
dunia fisik, Allah selalu memberikan kemampuan untuk memahaminya kepada
manusia- manusia dari kelompok khusus. Diantaranya yaitu kelompok ulul albab.
Hal ini seperti disebutkan dalam Al- Qur’an surat Ali Imran ayat 7 dan 180,
yang artinya:
“Dia- lah yang menurunkan Al- Kitab (Al- Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya
ada ayat- ayat muhkamat. Itulah pokok- pokok isi Al- Qur’an dan yang
lain (ayat- ayat) mutasyabihat. Adapun orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat- ayat yang mutasyabihat
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari- cari takwilnya, padahal tidak ada
yang mengetahuinya melainkan Allah. Dan orang- orang yang mendalam ilmunya
berkata: ”Kami beriman kepada ayat- ayat yang mutasyabihat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami”, dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan
orang- orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 7)[8]
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan
malam, ada tanda- tanda bagi orang yang memahami.” (QS. Ali Imran: 190)[9]
Selain itu, ulul albab juga
memiliki kemampuan penalaran, perenungan, ketakwaan, dan pengetahuan.
Karakteristik mereka lainnya adalah
mendengarkan kebenaran, mampu menjauhi kepalsuan- kepalsuan ilusi,
menyembah Tuhan, bijaksana, menyadari, dan mengambil pelajaran dari pengalaman-
pengalaman masa lalu. Karakteristik ini disimpulkan dari ayat di bawah ini,
pada setiap akhir ayat disebutkan kata ulul albab:
“Yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka itulah orang- orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka itulah orang- orang yang memahami.”
(QS. 39:18)[10]
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa ulul albab memiliki hampir seluruh karakteristik di
dalam Al- Qur’an untuk memahami alam (kauniyah), dan tidak hanya
memahami dan mengkaji ayat- ayat qouliyah saja. Mereka memiliki intelek
yang dibersihkan, dan dengan demikian, memiliki kemampuan lebih untuk meraih
pengetahuan tentang alam yang lebih dalam.[11]
Dari paparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa ulul albab adalah juga merupakan sosok intelektual.
Kaum intelektual sendiri berarti orang- orang yang mempunyai atau menunjukkan
kemampuan nalar (reasoning power) yang baik, yang tertarik pada hal- hal
rohani (things of mind) seperti kesenian atau ide- ide demi seni itu
sendiri. Mereka memiliki kemampuan melakukan pengamatan yang cermat terhadap
gejala- gejala di suatu lingkungan, pemahaman tentang sebab- sebab gejala itu
dan korelasinya dengan gejala lainnya, dan pada akhirnya perumusan suatu
kesimpulan yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain dengan bahasa yang
jelas.[12]
Adapun hasil kajian Muhaimin[13] terhadap istilah ulul
albab sebagaimana yang terkandung dalam Al- Qur’an, menemukan adanya lima
ciri utama yang dimiliki oleh sosok ulul albab, yaitu:
a) Selalu sadar akan kehadiran Tuhan pada
dirinya dalam segala situasi dan kondisi, sambil berusaha mengenali Allah
dengan kalbu (dzikir) serta mengenali alam semesta dengan akal (pikir),
sehingga sampai kepada bukti yang sangat nyata akan keagungan Allah SWT dengan
segala ciptaannya.
b) Tidak takut kepada siapa pun kecuali
kepada Allah SWT, serta mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian
dipilih yang baik walaupun sendirian dalam mempertahankan kebaikan itu dan
walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang.
c) Mementingkan kualitas hidup baik dalam
keyakinan, ucapan maupun perbuatan, sadar dan tahan uji walaupun ditimpa
musibah dan diganggu oleh setan (jin dan manusia), serta tidak mau membuat
onar, keresahan, kerusuan, dan berbuat makar di masyarakat.
d) Bersungguh- bersungguh dalam mencari dan
menggali ilmu pengetahuan, dan kritis dalam menerima pendapat, teori atau
gagasan dari mana pun datangnya, serta pandai menimbang- nimbang untuk
ditemukan yang terbaik.
e) Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang
lain untuk memperbaiki masyarakatnya, dan tidak suka duduk berpangku tangan dan
hanya diam, tetapi justru tampil di hadapan
masyarakat, terpanggil hatinya untuk memecahkan problem yang ada di
tengah- tengah masyarakat.[14]
Bertolak dari ke lima ciri
utama tersebut, ciri yang ke satu dan yang ke dua menggarisbawahi sosok ulul
albab yang memiliki kekokohan aqidah dan kedalaman spiritual, ciri yang ketiga
menggarisbawahi sosok ulul albab yang memiliki komitmen terhadap akhlak
mulia, dan ciri yang ke empat menggarisbawahi sosok ulul albab yang
memiliki kematangan profesional. Dari situ lah kemudian dapat diformulasikan
nilai- nilai yang harus dimiliki oleh sosok ulul albab ke dalam empat
kalimat yaitu kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan
kematangan profesional.[15]
Ulul albab juga harus memiliki
kematangan kepribadian, kematangan kemandirian dan kematangan keahlian.
Generasi ulul albab adalah profil yang matang kepribadiannya (personality),
memiliki jiwa mandiri, dan matang dalam keahliannya (kemampuan yang muncul dari
hasil gabungan antara teori dan skill). Ketiga dimensi yang menunjukkan
kematangan profesional tersebut dapat dijelaskan bahwa kematangan kepribadian
merupakan puncak dari kekokohan akidah, yaitu pribadi yang mentaati agama yang
telah diyakininya, peraturan yang ada, disiplin, mau dipimpin dan sanggup
bekerja dalam kelompok/jama’ah. Kematangan kepribadian menghantarkan manusia
pada derajat muslim.[16]
Kematangan kemandirian
merupakan puncak dari proses pengembangan keagungan akhlak, yaitu pribadi
militan, cekatan, tidak mudah menyerah, siap memimpin dan dipimpin, mampu
beradaptasi sehingga dapat hidup di manapun dan kapanpun serta dapat
bekerjasama dengan siapapun sekaligus mampu berkarya secara pribadi. Dalam
level agama, orang ini mencapai derajat mukmin.kematangan keahlian merupakan
puncak dari proses kekokohan intelektual (dasar teori dan pengetahuan) dan skill
(dasar ketrampilan dan kerja lapangan) yang dilandasi dengan kode etik profesi.
Kematangan keahlian melahirkan orang yang tekun, pekerja keras dalam bidangnya,
kreatif dan inovatif. Kematangan kepribadian juga melahirkan figur yang berjiwa
mujaddid (pembaharu) dan reformis, tidak puas terhadap apa yang ada dan
yang sudah dicapai tetapi selalu melakukan pembaharuan- pembaharuan sehingga
mampu mempersembahkan karya yang terbaik. Kematangan keahlian akan
menghantarkan derajat manusia pada tingkatan muhsin.[17]
Orang yang mencapai kematangan
profesional dalam bahasa agama adalah orang yang mampu mencapai derajat muslim,
mukmin, muhsin kemudian mencapai derajat muttaqin. Figur Ulama’ yang Intelek
Profesional dan atau Intelek Profesional yang Ulama’ yang disebut
sebagai generasi Ulul Albab nampaknya sudah sangat tepat.[18]
Dalam referensi lain juga
ditemukan bahwa, kata lain yang memiliki makna yang setara dengan kata ulul
albab adalah kata cendekiawan.[19] Peran cendekiawan adalah kesanggupan membuka
cakrawala baru yang lebih luas terhadap masyarakat dan lebih khusus lagi kepada
umatnya terutama dalam menghadapi perubahan- perubahan baik sosial maupun
teknologi, serta membedah kebuntuan sosial seperti eksklusivisme, fatalisme,
dan lain sebagainya. Hal demikian dibebankan kepada para cendekiawan mengingat
merekalah yang mempunyai sikap kritis, kosmopolitan rasional dan lain
sebagainya.[20]
Prof. Toyib Hadiwidjaja
menyatakan bahwa para cendikiawan itu diharapkan memiliki beberapa
”kematangan”, yaitu:
a) Kematangan Intelektual (mampu berfikir
jernih, rasional, analitis, kritis, dan metodologis)
b) Kematangan Emosioanal (Mampu mengendalikan
emosinya, memiliki kontrol diri yang kuat, tekun dan tabah menghadapi
tantangan).
c) Kematangan Sosial (mampu hidup di tengah-
tengah lapisan masyarakat yang mungkin berbeda watak dan kepentingannya, dan
mampu mempengaruhi pandangan, sikap, dan perilaku masyarakatnya).
d) Kematangan Spiritual (mempunyai kearifan dalam
menghadapi berbagai masalah, sanggup melakukan koreksi diri dan selalu
mendengar suara hati nuraninya yang paling dalam).[21]
Dalam aplikasinya, sosok
tersebut diharapkan mampu mengintegrasikan antara ilmu dan agama, serta mampu
menjawab kegelisahan- kegelisahan yang ada, khususnya dalam bidang hukum Islam
maka diperlukan upaya baru dalam memahami hukum Islam.
2.
Peran Ulul Albab Dalam Dinamisasi Hukum Islam
a) Integrasi
Ilmu Dan Agama Sebagai Salah Satu Upaya Menjawab Problematika Dalam Hukum Islam
Hukum Islam atau biasa disebut dengan syari’ah
selama ini diartikan sebagai hukum Tuhan, yang diturunkan untuk mengatur
kehidupan manusia, umat Islam khususnya. Hukum Islam bersifat sacred
karena ia merupakan wahyu Tuhan (divinely revealed)[22] dan
bersifat abadi.[23]
Syari’ah adalah sebagai sistem perintah Tuhan yang komprehensif dan ditentukan
sebelumnya, sebuah sistem hukum yang mempunyai eksistensi terlepas dari
masyarakat, tidak timbul dari masyarakat tetapi ditetapkan dari atas (Tuhan)
untuk masyarakat.[24]
Cara berfikir demikian pada akhirnya akan membentuk karakteristik
pola fikih klasik, yang kajiannya lebih mengarah pada law in book
daripada law in action. Para jurist muslim klasik merumuskan suatu
ketentuan/hukum dengan mendasarkan pada analisis tekstual (Al- Qur’an dan
Hadits) tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan aspek- aspek lain yang ada di
luar teks tersebut – social change –. Bisa dikatakan bahwa hal tersebut
berakar dari krisis metodologi hukum Islam (ushul fiqh) yang memberikan
penekanan (stressing) dan perlakuan berlebihan terhadap teks- teks
wahyu, dan sebaliknya kurang memperhatikan realitas yang ada di sekitarnya. Hal
ini mengakibatkan studi hukum Islam seolah menjadi semata- mata studi teks.
Oleh karena itu, kajian mengenai hukum Islam khususnya metodologi hukum Islam
saat ini dirasa sangat kurang akan:
Ø Analisis sosial empiris (lack of empiricism).
Ø Sistematisasi hukum yang diturunkan dari pengalaman- pengalaman
lapangan (lack of systematization).[25]
Upaya mengintegrasikan ilmu
dan agama selama ini tampaknya dirasakan sebagai suatu hal yang sulit
dilakukan. Ilmu yang sesungguhnya adalah hasil dari kegiatan observasi,
eksperimen, dan kerja rasio pada satu sisi dipisahkan dari agama (Islam) yang
bersumber pada kitab suci Al- Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, ilmu
pengetahuan sesungguhnya hanyalah merupakan hasil temuan manusia dari
pergulatan penelitiannya – dan karenanya, tingkat kebenarannya relatif –
dipisahkan dari Al- Qur’an dan Sunnah yang memiliki kebenaran mutlak. Keduanya –
pengetahuan ilmiah maupun pengetahuan wahyu – pada hakikatnya memiliki fungsi
yang sama, yaitu untuk memahami alam dan kehidupan ini. Keduanya berfungsi
untuk menyingkap tabir rahasia alam atau sosial yang dibutuhkan oleh umat
manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kebahagiaan hidupnya.
Keduanya dapat dipadukan,
namun bukan dalam makna dicampurkan karena keduanya tidak boleh dilihat secara
terpisah. Keduanya adalah ilmu pengetahuan yang ditekankan oleh Islam. Yang
berbeda hanyalah sumber dari mana pengetahuan itu diperoleh. Yang satu adalah
pengetahuan yang hanya dapat diperoleh melalui wahyu, sedangkan yang lain hanya
dapat diperoleh melalui kegiatan penelitian. Isi Al- Qur’an yang bersifat
universal tentunya tidak akan menjamah persoalan yang bersifat kondisional dan
temporal.[26]
Ilmu dan agama merupakan dua
hal yang komplementer, keduanya saling melengkapi satu sama lain. Agama
berfumgsi untuk menetapkan tujuan tetapi ia tidak dapat mencapainya tanpa
bantuan ilmu pengetahuan. Ilmu yang kuat dapat menambah sekaligus memperkuat
keyakinan agama. Agama akan senantiasa memotivasi pengembangan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan membahayakan manusia apabila tidak diimbangi
dengan agama.[27]
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa
ilmu lumpuh.
Di sini lah peran ulul
albab akan sangat tampak, karena seperti yang telah diuraikan sebelumnya
bahwa sosok ulul albab itu adalah mereka yang mampu mengkaji dan
memahami Al- Qur’an dari segi qouliyah dan kauniyah, kedua-
keduanya dikaji tanpa menafikan salah satunya. Dengan demikian, friksi dan
tensi antara ilmu dan agama dapat diminimalisir dan bahkan dihilangkan. Sosok ulul
albab sebagaimana yang telah disebutkan diharapkan mampu mengintegrasikan
antara ilmu dan agama sebagai salah satu solusi dalam problem- problem hukum
Islam saat ini.
b) Melakukan Ijtihad Jama’i
(Kolektif)
Seiring dengan perkembangan
zaman, dalam perjalanannya hukum Islam akan banyak menghadapi tantangan. Agar
semua persoalan dewasa ini dapat ditangani dan dijawab oleh Hukum Islam, maka
salah satu upayanya adalah melalui lembaga ijtihad. Model ijtihad seperti apa
yang cocok dengan kondisi saat ini, Prof. Dr. Umar Shihab menguraikan berikut
ini:
1) Ijtihad Intiqa’i (Tarjih)
Dalam
ijtihad ini para mujtahid dituntut untuk mengadakan studi perbandingan di
antara pendapat- pendapat yang tedapat suatu perbedaan, kemudian memilih
pendapat yang dipandang kuat dan lebih sesuai dengan kondisinya.
2) Ijtihad Insya’i (Penalaran Baru)
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi dunia banyak membawa pengaruh
perubahan pola pikir dan sikap hidup masyarakat. Sikap rasional yang menjadi
ciri utama masyarakat modern membuat praktek ilmu fikih kurang mampu lagi
menjawab permasalahan baru tersebut.
Upaya
untuk mengantisipasi permasalahan ini tidak akan tercapai apabila mujtahid
sekarang hanya terpaku pada pendapat ulama terdahulu, sebab mereka belum
mengalami kasus- kasus itu apalagi berijtihad dalam hal tersebut.
3) Ijtihad Komparatif (Perbandingan)
Ijtihad
komparatif adalah menggabungkan kedua bentuk ijtihad di atas (intiqa’i
dan insya’i). Dengan demikian, di samping untuk menguatkan atau
mengkompromikan beberapa pendapat juga diupayakan adanya pendapat baru sebagai
jalan keluar yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman.[28]
Dari ketiga model ijtihad yang
dianggap cocok pada masa sekarang ini tentu saja cara yang paling relevan dan
lebih dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya secara ilmiah dan akademik adalah
dilakuan dengan cara kolektif (jama’i), yaitu ijtihad yang melibatkan
beberapa ahli lintas profesi. Karena ijtihad yang dilakukan secara bersama-
sama dari orang- orang yang memiliki dan menguasai disiplin beragam akan lebih
bisa menyerap seluruh persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, hasil
ijtihadnya mampu memberikan jawaban secara utuh dan menyeluruh.
Ijtihad kolektif merupakan
bentuk ijtihad yang mengakui dan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu
pengetahuan di kalangan ahli untuk memecahkan problem hukum Islam yang terjadi
di masyarakat. Keterlibatan berbagai ahli ini dapat memudahkan jalan bagi
seseorang yang sedang menghadapi problematika serius.[29] Berbagai ahli tersebut
dikumpulkan dengan tujuan untuk saling komplementer, masing- masing anggota
memiliki keahlian sesuai dengan bidangnya.
Semua upaya di atas dilakukan
karena peranan hukum Islam dalam kehidupan umat Islam tentunya masih sangat
besar, dan yang menjadi masalah adalah sejauh mana hukum dapat melayani
tuntutan kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perubahan. Ada beberapa hal
yang dapat dijadikan sebagai solusi untuk mengatasi tantangan di atas, yaitu:
1) Harus mampu memahami tingkat perubahan
kemasyarakatan dan keilmuan yang berkembang dalam lingkungan kita, dan
memandangnya sebagai sunnatullah yang tidak mungkin dihindari.
2) Menelaah kembali formulasi- formulasi
hukum Islam.
3) Dengan niat dan usaha yang maksimal
berusaha menemukan pemecahan- pemecahan hukum, melalui ijtihad jama’i
(ijtihad kolektif) dengan mendayagunakan berbagai otoritas keilmuan yang dimiliki oleh umat Islam, mengingat
masalah- masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat modern begitu kompleks
dan saling terkait. Itulah sebabnya ijtihad (apapun tingkatnya) sulit dilakukan
secara individual.[30]
Pengaruh dan kredibilitas
hukum Islam menghadapi masyarakat mendatang akan banyak tergantung pada
kemampuan para ulama dan cendikiawan Islam (ulul albab) dalam
menafsirkan dan merumuskan kembali hukum- hukum tersebut di atas realitas yang
ada. Hukum Islam yang dapat diletakkan di atas kenyataan yang berlaku, bukan
hanya diabadikan sebagai ideal- ideal yang mustahil diwujudkan. Apalagi
perkembangan yang sifatnya dharuri juga banyak terjadi. Hal tersebut
merupakan upaya realisasi misi utama Islam sebagai Rahmatan lil ‘Alamiin.
Hubungan Antara Ulul Albab Dan
Analisis Logik Filsafat Ilmu
Dalam mengkaji makalah ini,
penulis menggunakan salah satu analisis logik dalam kajian filsafat ilmu, yaitu
logika bahasa. Logika ini digunakan sebagai pisau analisis terkait dengan
pembahasan sosok ulul albab dalam mengkaji ayat- ayat mutasyabih
ditinjau dari segi linguistik (sintaktikal, semantikal, dan hermeneutik). Dalam
ilmu fiqih, yang dimaksud dengan ayat mutasyabih adalah ayat yang
mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang
dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam. Mutasyabih adalah istilah yang digunakan
Al-Qur’an untuk menunjuk ayat yang bersifat globlal dan sulit dipahami, yang
membutuhkan takwil dan rincian.[31] Apabila dikaitkan dengan ilmu bahasa maka
ayat mutasyabih termasuk dalam kategori makna semantik, karena ayat
tersebut menyimpan sebuah simbol yang tersirat. Studi semantik akan menjadi fokus pembahasan dalam
bab ini.
Semantik yang semula berasal
dari bahasa Yunani, mengandung makna to signify atau memaknai. Sebagai
istilah teknis, semantik mengandung pengertian studi tentang makna. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian
dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik. Seperti halnya
bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki tingkatan
tertentu. Apabila komponen bunyi umumnya menduduki tingkat pertama, tata bahasa
pada tingkat kedua, maka komponen makna menduduki tingkatan paling akhir.
Hubungan ketiga komponen itu sesuai dengan kenyataan bahwa (a) bahasa pada
awalnya merupakan bunyi- bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-
lambang tertentu, (b) lambang- lambang merupakan seperangkat sistem yang
memiliki tataan dan hubungan tertentu, dan (c) seperangkat lambang yang
memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu.[32]
Menurut
Ferdinand de Saussure, bahasa sebagai sistem tanda diindikatori oleh adanya
hubungan yang erat antara (a) signifiant, yakni gambaran tatanan bunyi
secara abstrak dalam kesadaran batin para pemakainya, (b) signifie,
yakni gambaran makna secara abstrak sehubungan dengan adanya kemungkinan
hubungan antara abstraksi bunyi dengan dunia luar, (c) form, yakni
kaidah abstrak yang mengatur hubungan antara butir- butir abstraksi bunyi
sehingga memungkinkan digunakan untuk berekspresi, serta (d) substance,
yaitu perwujudan bunyi ujaran khas ”manusia”.[33]
Ketika mengkaji ayat- ayat mutasyabih
maka sangat erat sekali kaitannya dengan ilmu semantik. Karena semantik
menawarkan sebuah kunci untuk membuka makna simbolik di balik sebuah kalimat. Dalam hal ini, maka semantik adalah kunci untuk menggali
makna yang terdapat dalam ayat- ayat mutasyabih.
Para sosok ulul albab sebagai
cendikiawan yang mampu melihat sesuatu yang mutasyabih, diharapkan dapat
menambah khazanah keilmuan – khususnya dalam bidang hukum Islam – untuk
menjawab persoalan- persoalan kekinian. Karena seiring dengan
perubahan zaman yang terus berkembang, maka banyak sekali kasus- kasus hukum
kasuistik yang muncul, yang status hukumnya tidak disebutkan dalam naskah- naskah
tekstual. Berdasarkan hal tersebut, sosok
ulul albab dirasa memiliki kapasitas untuk melakukan suatu penelusuran hukum yang melampaui teks- teks normatif, inilah yang disebut dengan aktivitas penelusuran yang sifatnya adalah ekstratekstual (the venture beyond the text).
Penutup
Dari pembahasan mengenai ulul albab
yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosok ulul albab adalah sosok yang mampu melihat sesuatu yang mutasyabih,
memiliki kemampuan penalaran, perenungan, ketakwaan, dan pengetahuan. Selain
itu, mereka juga memiliki hampir seluruh karakteristik di dalam Al- Qur’an
untuk memahami alam (kauniyah), dan tidak hanya memahami dan mengkaji
ayat- ayat qouliyah saja. Mereka memiliki intelek yang dibersihkan, dan
dengan demikian, memiliki kemampuan lebih untuk meraih pengetahuan tentang alam
yang lebih dalam. Adapun formulasi nilai- nilai yang harus dimiliki oleh sosok ulul
albab yaitu kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan
profesional. Dengan mengintrodusir profil ulul albab – Ulama’ yang
Intelek Profesional dan Intelek Profesional yang Ulama’ – diharapkan
sosok ulul albab akan tetap survive dalam dinamisasi hukum Islam
yang akan terus berkembang.
Sosok ulul albab berusaha
menciptakan harmonisasi antara ilmu dan agama sebagai ruang arbitrasi di antara
keduanya, yang selama ini dianggap sebagai suatu hal yang sulit untuk
direalisasikan. Karena ilmu dan agama adalah sesuatu yang bersifat
komplementer/saling melengkapi. Selain itu, sosok ulul albab juga
mencoba mensosialisasikan ijtihad jama’i (kolektif) yaitu ijtihad yang
dilakukan dengan melibatkan beberapa ahli lintas profesi. Karena ijtihad yang
dilakukan secara bersama- sama dari orang- orang yang memiliki dan menguasai
disiplin beragam akan lebih bisa menyerap seluruh persoalan yang dihadapi.
Dengan demikian, hasil ijtihadnya mampu memberikan jawaban secara utuh dan
menyeluruh.
Dengan menggunakan analisis logik semantik maka ayat- ayat mutasyabihat dapat dikaji secara
lebih mendalam. Karena analisis logik semantik bertujuan untuk menemukan makna
simbolik/makna tersirat yang terkandung dalam sebuah kalimat.
Sebagai sebuah epilog, perlu untuk ditegaskan kembali
bahwa agar ajaran Islam selalu mampu menghadapi dan menjawab tantangan zaman, hukum Islam perlu dikembangkan dan
pemahaman terhadap Islam perlu terus- menerus diperbarui dengan memberikan
penafsiran baru terhadap nash dengan cara menggali kemungkinan lain atau
alternatif dalam syari’at yang diyakini mampu menjadi sebuah solusi untuk
menjawab masalah- masalah baru yang muncul.
Daftar Pustaka
Aminuddin. 1988. Semantik; Pengantar Studi
Tentang Makna. Bandung: CV. Sinar Baru.
Arief, Abdul Salam. 2003. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: LESFI.
Bisri, Cik Hasan. 2004. Pilar- Pilar Penelitian Hukum
Islam Dan Pranata Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Coulson, Noel J. 2001. Conflict and
Tension in Islamic Jurisprudence/Konflik dalam Yurisprudensi Islam, Fuad (terj.). Yogyakarta: Navila.
Davis, Nancy J. and Robert V.
Robinson. 2006. The Egalitarian Face of Islamic Orthodoxy. American Sociological Review.
DEPAG RI. 1989. Al- Qur’an Dan Terjemahnya. Semarang: CV. Toha Putra.
Ghulsyani, Mahdi. 1998. Filsafat-Sains
Menurut Al- Qur’an. Bandung: Mizan.
Hasan. Muhammad Tholhah. 2005. Islam&Masalah Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Lantabora Press.
Huda, Miftahul. 2006.
Filsafat Hukum Islam. Ponorogo:
STAIN PO Press.
Muhadjir, Noeng. 2006. Filsafat Ilmu
Kualitatif&Kuantitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Murni, Wahid.
2006. ”Membangun Zona Ulul
Albab di UIN Malang”, dalam 2 Tahun UIN Malang; Reorientasi Budaya Akademik
Perguruan Tinggi, M. In’am Esha dan Helmi Syaifuddin. Malang: UIN Malang Press.
Mustofa, Abdul Wahid. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar
Grafika.
Rahim, Abdur. 1994. The Principles of Islamic
Jurisprudence. New Delhi: Kitab Bhavan.
Roy, Muhammad. tt. Filasafat
Hukum Al- Thufi Dan Dinamisasi Hukum Islam. Yogyakarta: Pondok Pesantren
UII.
Safi, Louay. 1993. The Foundation of Knowledge; A Comparative Study in Islamic and
Western Methods of Inquiry. Malaysia: International
Islamic University Malaysia and International Institute of Islamic Thought.
Suprayogo, Imam. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama;Interpretasi dan Aksi.
Bandung: PT Mizan Pustaka.
Usman. 2009. Ulumul Qur’an.
Yogyakarta: Teras.
[2] Muhammad Roy, Filsafat Hukum Al-Thufi Dan Dinamisasi Hukum Islam
(Yogyakarta: Pondok Pesantren UII), hal.
1- 2.
[4] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu
Kualitatif&Kuantitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006), hal. 222.
[5] Yang dimaksud dengan muhkam di
sini adalah ayat yang muhkamat, yaitu ayat yang terang dan tegas
maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah.
[6] Ayat mutasyabihat adalah ayat yang
mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang
dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
[12] Muhammad Tholhah Hasan, Islam&Masalah
Sumber Daya Manusia (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hal. 206.
[13] Peneliti adalah salah satu dosen di UIN
Malang.
[14] Wahid Murni, ”Membangun Zona Ulul Albab
Di UIN Malang”, dalam 2 Tahun UIN Malang Reorientasi Budaya Akademik
Perguruan Tinggi, Muhammad In’am Esha dan Helmi Syaifuddin (Malang: UIN
Malang Press, 2006), hal. 53- 54.
[19] Cik Hasan Bisri, Pilar- Pilar
Penelitian Hukum Islam Dan Pranata Sosial (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 119.
[22] Abdur Rahim membedakan antara hukum wahyu (revealed
laws) dan hukum non-wahyu (unrevealed laws). Yang disebut pertama
adalah hukum yang dapat ditemukan dalam Al- Qur’an, sedangkan yang kedua adalah
hukum yang ditentukan oleh penyimpulan seorang jurist. Abdur Rahim, The
Principles of Islamic Jurisprudence (New Delhi: Kitab Bhavan, 1994), hal 59.
[23] Nancy J. Davis dan Robert V. Robinson, The
Egalitarian Face of Islamic Orthodoxy (American Sociological Review: 2006),
hal 169.
[24] Noel J. Coulson, Conflict and Tension in
Islamic Jurisprudence/Konflik dalam Yurisprudensi Islam., hal 74.
[25] Louay Safi, The Foundation of Knowledge; A
Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry (Malaysia:
International Islamic University Malaysia, 1993), hal 33.
[26] Imam Suprayogo, Integrasi Ilmu dan
Agama;Interpretasi dan Aksi (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), hal 219- 220.
[30] M. Tholhah Hasan, Prospek Islam Dalam
Menghadapi Tantangan Zaman (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hal. 133- 135.
Komentar
Posting Komentar